a a a a a a a a a a a a a a a a
Kiki Setiawan and PartnersKiki Setiawan and Partners
KSP Legal Articles

Polemik Tanggung Jawab Direksi Atas Keputusan Aksi Korporasi Menurut Doktrin Business Judgment Rule (The Controversy Over the Responsibility of Directors for Corporate Action Decisions According to the Business Judgment Rule Doctrine)

Kiki Setiawan & Partners Law Office provides legal consultancy related to Corporate, Commercial, Investment and Financing legal matters, please call us at +62 21 2963 8070 or drop us an email at mail@ksplaw.co.id

Seringkali timbul pertanyaan mengenai sampai mana batasan tanggung jawab seorang direksi terhadap perbuatannya yang berdampak terhadap kerugian Perseroan maupun pihak ketiga. Pada esensinya, Perseroan yang merupakan badan hukum hanya dapat diminta pertanggungjawaban sebatas sanksi administratif dan/atau denda saja. Maka, tidak jarang pertanggungjawaban atas perbuatan tersebut ditarik lebih jauh pada pribadi yang menjalankan kegiatan Perseroan, yaitu anggota direksi.

Tentunya, pembebanan tanggung jawab secara pribadi pada anggota direksi tersebut tidak dapat serta-merta terjadi. Harus dilihat terlebih dahulu apakah memang kerugian tersebut timbul karena perbuatan lalai dari anggota direksi. Idealnya, seorang anggota direksi akan selalu bertindak demi keuntungan Perseoran dan menghindari timbulnya kerugian. Hal-hal tidak terduga yang terjadi dalam prakteknya bisa saja menjadi suatu konsekuensi yang tidak dapat diprediksi dan dihindari ketika seorang direksi membuat keputusan bisnis. Maka dari itu, hadirlah sebuah doktrin yang dinamakan Business Judgment Rule sebagai sarana justifikasi direksi atas perbuatan dan keputusan yang diambil dalam jabatannya sebagai direksi Perseroan.

Business Judgment Rule sendiri merupakan doktrin yang berasal dari common law yang berusaha melindungi anggota direksi dari Perseoran dari pertanggungjawaban hukum terkait keputusan bisnis yang diambil oleh anggota direksi tersebut. Doktrin ini merupakan tindak lanjut dari asas fiduciary duty seorang anggota direksi. Doktrin ini mengasumsikan bahwa anggota direksi, kecuali dibuktikan sebaliknya, bertindak untuk kepentingan dan keuntungan Perseroan berdasarkan fiduciary duty-nya.

Black's Law Dictionary memberikan pengertian Doktrin Business judgment rule yaitu 'the presumption that in makin business decision not involving direct self interest or self dealing, corporate directors act in the honest belief that their actions are in the corporation best interest' atau 'suatu tindakan atau perbuatan dalam membuat suatu keputusan yang tidak melibatkan kepentingan diri sendiri, didasari kejujuran dan bertindak untuk kepentingan terbaik bagi Perseroan'.

Doktrin Business judgment rule mengakui bahwa dalam praktek bisnis, akan dibutuhkan decision making yang berisiko sebagai suatu strategi bisnis. Maka dari itu, doktrin ini dapat digunakan sebagai justifikasi atau pembelaan dari anggota direksi agar dapat melindungi diri dari pertanggungjawaban pribadi atas kerugian Perseroan.

Di Indonesia, doktrin Business Judgment Rule diatur dalam pada Pasal 97 ayat (5) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU Perseroan terbatas”), yang berbunyi:

Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:
a. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b. telah melakukan pengurusan dengan iktikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
d. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.


Dengan terpenuhinya keempat syarat tersebut, maka anggota direksi dapat dinyatakan telah menjalankan fiduciary duty¬-nya dan secara business judgment rule dibebaskan dari tanggung jawab pribadi. Dapat dilihat bahwa business judgment rule sangat menitikberatkan pada proses decision making (judgment) dari anggota direksi sebelum diambilnya keputusan tersebut. Direksi baru akan dapat dimintai pertanggungjawaban jika berhasil dibuktikan dilakukannya fraud, adanya itikad tidak baik, adanya benturan kepentingan, perbuatan melawan hukum, dan gross negligence (kesalahan yang disengaja).

Namun demikian, pemegang saham tetap memiliki hak untuk mengajukan gugatan terhadap Direksi atas kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan sebagaimana diatur dalam Pasal 97 Ayat 6 UU Perseroan Terbatas, dengan ketentuan disetujui oleh oleh paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara. Dalam hal seluruh anggota Direksi memiliki benturan kepentingan, maka Perseroan akan diwakili oleh Dewan Komisaris dalam mengajukan gugatan terhadap Direksi tersebut.

Dalam konteks BUMN, business judgment rule tampak dalam Pasal 25 ayat (3) PP No. 23 2022 tentang Perubahan atas PP No. 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran BUMN yang memiliki bunyi yang sama dengan Pasal 97 ayat (5) UU PT. Namun perlu digarisbawahi, BUMN yang bergerak sebagai perpanjangan tangan negara tentu memiliki konsekuensi yang berbeda dengan Perseroan swasta. Dalam BUMN, orientasinya adalah kepentingan public dan menggunakan permodalan yang bersumber dari keuangan negara. Oleh karena itu, pertanggungjawaban atas keuangan dalam BUMN menjadi berbeda dan harus dilandasi prinsip kehati-hatian yang lebih besar.

Kerugian terhadap keuangan negara bisa saja menjadi yurisdiksi hukum pidana, khususnya tuntutan tindak pidana korupsi. Padahal, bisa saja keputusan bisnis yang diambil oleh anggota direksi BUMN tersebut telah berlandaskan good corporate governance dan dilaksanakan atas fiduciary duty. Salah satu contoh kasus terkait dengan business judgment rule di BUMN adalah kasus korupsi pada BUMN Pertamina. Dalam kasus ini, mantan Direktur Utama (2014-2019) dari PT Pertamina Persero dituntut atas tindak pidana korupsi karena menimbulkan kerugian sebesar lebih dari Rp. 568.000.000.000,- (lima ratus enam puluh delapan miliar Rupiah) pada anak perusahaan PT Pertamina Persero, yaitu PT Pertamina Hulu Energi akibat melakukan investasi pada perusahaan asing di Australia.

Dalam tingkat pertama dan tingkat banding, Majelis Hakim menjatuhkan putusan terbuktinya tindak pidana korupsi. Barulah pada tingkat kasasi, kedua putusan tersebut dibatalkan oleh Putusan No. 121 K/Pid.Sus/2020 dan mantan Direktur Utama PT Pertamina Persero tersebut dibebaskan atas lima pertimbangan berikut:
1) Keuangan anak perusahaan BUMN tidak termasuk keuangan negara;
2) Yang dialami oleh PT Pertamina Hulu Energi adalah penurunan nilai aset yang pencatatannya fluktatif dalam akuntansi keuangan;
3) Sudah terdapat izin komisaris;
4) Investasi dalam ranah oil company memang penuh dengan risiko sehingga tidak ada parameter yang pasti untuk mengukurnya;
5) Perbuatan mantan Direktur Utama tersebut masih termasuk dalam ranah business judgment rule karena tidak adanya fraud, benturan kepentingan, perbuatan melawan hukum, dan kesalahan yang disengaja.

Berdasarkan contoh kasus yang telah disebutkan, dapat dilihat bahwa business judgment rule telah diterapkan secara konsisten dalam peradilan di Indonesia. Doktrin ini menjadi pelindung yang berhasil membebaskan anggota direksi BUMN dalam kedua kasus di atas. Namun tentu saja, keuntungan penerapan business judgment rule dibarengi dengan beban yang cukup berat untuk membuktikan apakah benar tindakan dan keputusan yang diambil telah sesuai dengan doktrin tersebut. Sebab, baik dalam UU PT maupun dalam PP 23/2022, ada empat unsur kumulatif yang harus dibuktikan oleh anggota direksi untuk dapat terhindar dari pembebanan tanggung jawab pribadi.

Click DOWNLOAD PDF to read the English version of this Article
Share Whatsapp
See More Publication