Perbedaan DDP dan DDU dalam Perdagangan Internasional
Kiki Setiawan & Partners Law Office provides legal consultancy related to Corporate & Commercial legal matters, please call us at +62 21 2963 8070 or drop us an email at mail@ksplaw.co.id.
Dalam perdagangan internasional, dikenal International Chamber of Commerce (ICC) yang mengatur mengenai perdagangan global. Ketentuan yang dibuat oleh ICC tampak dalam International Commercial Terms atau Incoterms yang umum digunakan sebagai pedoman dalam menentukan batasan tanggung jawab antara penjual dan pembeli dalam hal perdagangan internasional. Incoterms membantu memperjelas mengenai apa saja kewajiban dan tanggung jawab pembeli dan penjual, berikut dengan biaya dan risiko yang perlu ditanggung oleh masing-masing pihak tersebut.
Pada versi terbaru, yaitu Incoterms 2020, dikenal adanya sebelas jenis ketentuan untuk perdagangan internasional, yaitu: 1. Tujuh macam ketentuan untuk seluruh jenis pengangkutan yang terdiri atas: a. EXW (Ex Works); b. FCA (Free Carrier); c. CPT (Carried Paid to); d. CIP (Carriage and Insurance Paid To); e. DAP (Delivered at Place); f. DPU (Delivered at Place Unloaded); g. DDP (Delivered Duty Paid).
2. Empat macam ketentuan untuk pengangkutan air yang terdiri atas: a. FAS (Free Alongside Ship); b. FOB (Free on Board); c. CFR (Cost and Freight); d. CIF (Cost Insurance and Freight).
Meskipun telah ada versi Incoterms 2020, namun para pelaku perdagangan internasional masih dapat memilih untuk mengacu kepada versi lawas dari Incoterms itu sendiri, misalnya kepada Incoterms 2010. Maka dari itu, tidak jarang ditemukan penggunaan Incoterms yang tidak didasarkan pada Incoterms 2020, contohnya adalah penggunaan DDU Incoterms. DDU sendiri telah disingkirkan dari ketentuan Incoterms sejak versi 2010. Sehingga, ketika menggunakan terminologi DDU, akan digunakan pula klausula “as per Incoterms 2000.”
DDU merupakan singkatan dari Delivery Duty Unpaid. Jika ditelaah pada Incoterms 2020, terdapat ketentuan yang cukup mirip dengan DDU, yaitu DDP atau Delivery Duty Paid. Meskipun terlihat mirip, sejatinya kedua ketentuan ini memiliki perbedaan yang cukup signifikan, khususnya pada pembagian risiko dan biaya. Adapun uraian dari masing-masing ketentuan ini adalah sebagai berikut.
DDP Incorterms DDP merupakan cara pengiriman dimana penjual atau eksportir harus telah menyelesaikan prosedur impor di tempat tujuan sebelum menyerahkan barang ke pembeli atau importir, sehingga semua risiko dan biaya dalam proses pengiriman barang ke tujuan yang ditentukan menjadi tanggung jawab dari penjual. Dalam DDP, penjual menanggung seluruh risiko atau kerusahan pada barang hingga barang tiba di tempat tujuan akhir. Penjual juga bertanggung jawab atas seluruh biaya yang timbul ketika pengiriman, pengangkutan, biaya asuransi, bea ekspor dan impor serta pajak.
Beberapa kelebihan dan kekurangan dari DDP yaitu: A. Kelebihan: a. Risiko yang lebih minim karena setiap tahapan pengiriman ditangani oleh penjual saja; b. Proses yang lebih terkoordinasi; c. Transparansi proses finansial dan pembayaran.
B. Kekurangan: a. Beban berat terhadap penjual untuk melakukan pengiriman; b. Limitasi peran pada pembeli karena tidak memiliki andil dalam pengiriman.
DDU Incoterms DDU merupakan cara pengiriman dimana penjual atau eksportir harus menanggung semua biaya dan risiko pengiriman barang ke tempat yang ditentukan, tetapi tidak termasuk bea cukai, pajak, dan tarif di pelabuhan tujuan. Seluruh pengurusan untuk prosedur dan formalitas impor menjadi tanggung jawab pembeli atau importir. Importir perlu menghadapi biaya dan risiko tambahan yang disebabkan oleh tidak dapat menangani proses bea cukai impor barang secara tepat waktu. Dalam DDU, penjual menanggung seluruh risiko atau kerusakan hanya sampai barang dikirimkan di tempat penjemputan (risiko setelahnya ditanggung pembeli). Penjual bertanggung jawab atas biaya pengangkutan dan pengiriman, biaya ekspor, dan biaya asuransi hingga pada titik penjemputan yang disepakati, sementara pembeli menanggung biaya bea masuk (impor), pajak, dan biaya pengiriman hingga ke tujuan akhir, serta biaya bongkar muat
Beberapa kelebihan dan kekurangan dari DDU yaitu: A. Kelebihan: a. Low value purchases untuk pembeli; b. Beban yang lebih rendah pada penjual; c. Tingginya keterlibatan pembeli dalam proses pengiriman.
B. Kekurangan: a. Beban terhadap pembeli untuk melakukan sebagian pengiriman; b. Beban dokumentasi karena penjual harus terlebih dahulu memberikan seluruh dokumentasi yang diperlukan agar pembeli dapat melanjutkan prosedur formal masuknya barang.
Perbedaan DDP dan DDU Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perbedaan dari kedua Incoterms ini adalah: 1. Perbedaan tanggung jawab biaya dan risiko barang pada pengiriman. Di DDP, seluruh proses pengiriman menjadi tanggung jawab penjual, sementara di DDU sebagian menjadi tanggung jawab pembeli yaitu setelah pembeli menjemput barang. 2. Dalam DDP, pembeli lebih ‘diuntungkan’ karena menanggung tanggung jawab yang sangat minim pada proses pengiriman barang. Dalam DDU, pembeli dan penjual sama-sama memiliki tanggung jawab masing-masing di negaranya sehingga seimbang dan tidak menguntungkan salah satu pihak saja. 3. DDP lebih cocok untuk retail customers dan DDU untuk pembeli dengan jumlah besar. Hal ini dapat dilihat dari contoh praktik DDP dan DDU, dimana penggunaan DDP sangat umum ditemukan pada e-Commerce dan penggunaan DDU lebih umum pada perusahaan yang membeli dalam jumlah besar.
Penerbitan Instrumen Pasar Uang dan Transaksi Pasar Uang
Kiki Setiawan & Partners Law Office provides legal consultancy related to Corporate & Commercial legal matters, please call us at +62 21 2963 8070 or drop us an email at mail@ksplaw.co.id.
Pada November 2023 yang lalu, Bank Indonesia mengeluarkan peraturan terbaru yaitu Peraturan Bank Indonesia No. 12 Tahun 2023 tentang Penerbitan Instrumen Pasar Uang dan Transaksi Pasar Uang (PBI 12/2023). Beleid ini menghimpun peraturan-peraturan sebelumnya terkait instrumen pasar uang yang diatur secara terpisah-pisah. Dapat dilihat dalam ketentuan penutup, PBI 12/2023 ini mencabut PBI No. 19/2/PBI/2017 dan PBI No. 19/9/PBI/2017 yang masing-masing mengatur terkait sertifikat deposito dan Surat Berharga Komersial. PBI ini juga mencabut PBI No. 20/7/PBI/2018 tentang Indonesia Overnight Index Average dan Jakarta Interbank Offered Rate dan PBI No. 20/13/PBI/2018 tentang Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah. Meski demikian, aturan turunan dari keempat PBI tersebut masih dinyatakan berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan PBI 12/2023.
Menurut Pasal 1 angka 1 PBI 12/2023, Pasar Uang merupakan bagian dari sistem keuangan yang berkaitan dengan: a. Kegiatan penerbitan dan perdagangan instrumen keuangan atau efek bersifat utang yang berjangka waktu tidak lebih dari 1 (satu) tahun b. Transaksi pinjam-meminjam uang c. Transaksi derivatif suku bunga d. Transaksi lainnya yang memenuhi karakteristik di pasar uang, dalam mata uang rupiah atau valuta asing.
Adapun, Instrumen Pasar Uang sendiri didefinisikan sebagai “surat berharga jangka pendek yang dapat dialihkan dan/atau diperdagangkan, termasuk efek bersifat utang yang berjangka waktu tidak lebih dari 1 (satu) tahun dan instrumen lain yang dapat dipersamakan dengan surat berharga jangka pendek yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.” Instrumen ini, seperti yang umumnya dikenal, dapat berupa surat sanggup, surat perintah membayar, efek bersifat utang, atau surat berharga jangka pendek lainnya yang ditetapkan Bank Indonesia.
Berbeda dengan ketentuan pada dua PBI sebelumnya tentang deposito dan SBK yang hanya menjabarkan kriteria umum saja, PBI 12/2023 mempersyaratkan adanya dua jenis kriteria agar dapat dilakukan Penerbitan Instrumen Pasar Uang. Kriteria tersebut yaitu kriteria umum dan kriteria khusus, yang masing-masing terdiri atas: 1. Kriteria umum: A. Scripless B. Terdapat keterbukaan informasi atas: a. Instrumen Pasar Uang b. Penerbit Instrumen Pasar Uang C. Ditatausahakan di penyelenggara sarana penyelesaian transaksi, penatausahaan, dan/atau penyimpanan instrumen keuangan (kustodian sentral) yang ditetapkan Bank Indonesia D. Kriteria umum lainnya yang ditetapkan Bank Indonesia.
2. Kriteria Khusus A. Pendaftaran B. Penawaran C. Penatausahaan dan penyelesaian D. Kriteria khusus lainnya yang ditetapkan Bank Indonesia.
Transaksi Pasar Uang dalam PBI 12/2023 juga kini dipersyaratkan atas kriteria umum dan kriteria khusus, yaitu: 1. Kriteria umum A. Bagi Transaksi Pasar Uang yang menggunakan instrumen keuangan, harus: a. Diterbitkan dalam bentuk scripless b. Ditatausahakan di penyelenggara sarana penyelesaian transaksi, penatausahaan, dan/atau penyimpanan instrumen keuangan (kustodian sentral) B. menggunakan kontrak dan/atau konfirmasi C. mengacu pada market standard atau konvensi pasar (market convention) yang berlaku.
2. Kriteria khusus ditetapkan Bank Indonesia berdasarkan jenis Transaksi Pasar Uang.
Lebih lanjut, PBI ini juga mengakomodasi situasi dalam hal terjadi wanprestasi baik berupa peristiwa kegagalan maupun peristiwa pengakhiran oleh salah satu pihak. Peristiwa kegagalan adalahh kegagalan salah satu pihak dalam memenuhi kewajibannya yang meliputi kegagalan pembayaran atau penyerahan, pelanggaran perjanjian, kepailitan, dan peristiwa lain yang diperjanjikan dalam perjanjian induk. Sementara itu, peristiwa pengakhiran merupakan peristiwa tertentu yang disepakati memicu para pihak untuk mengakhiri perjanjian yang meliputi ketidakabsahan, peristiwa kahar, peristiwa pajak (tax event), peristiwa pengakhiran tambahan, atau peristiwa pengakhiran lainnya yang diperjanjikan dalam perjanjian induk.
Ketika terjadi wanprestasi dalam Transaksi Pasar Uang, dapat dilakukan penyelesaian melalui mekanisme Close-Out Netting sepanjang diperjanjikan pada perjanjian induk. Artinya, tanpa diperjanjikan terlebih dahulu oleh para pihak maka mekanisme ini tidak dapat dilaksanakan. Close-Out Netting sendiri merupakan proses pengakhiran awal, penghitungan nilai, dan perjumpaan utang atas seluruh transaksi Derivatif di pasar keuangan antara para pihak dalam satu perjanjian induk untuk menghasilkan satu nilai yang dapat ditagihkan kepada salah satu pihak. Mekanisme ini ditujukan untuk melindungi transaksi Derivatif di Pasar Uang, transaksi repo (repurchase agreement), dan transaksi lainnya yang ditetapkan Bank Indonesia atau otoritas yang berwenang. Adanya Close Out Netting bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi para pelaku Transaksi Pasar Uang.
Sebelumnya, Close-Out Netting memang telah dipraktekkan dalam transasi repo, namun baru pada beleid inilah Close-Out Netting sebagai mekanisme pemulihan wanprestasi pada transaksi repo diakomodasi. Sebelum adanya PBI 12/2023 ini, Close-Out Netting hanya diatur dalam PBI No. 20/13/PBI/2018 mengenai transaksi derivative saja. Adanya Close-Out Netting yang diterapkan pada transaksi repo ini merupakan amanat yang diberikan oleh Pasal 41 UU No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.
Aturan Baru Short Selling Akan Diterapkan Oktober 2024, Ayo Simak Ketentuannya!
Kiki Setiawan & Partners Law Office provides legal consultancy related to Corporate & Commercial legal matters, please call us at +62 21 2963 8070 or drop us an email at mail@ksplaw.co.id.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 6 Tahun 2024 tentang Pembiayaan Transaksi Efek oleh Perusahaan Efek Bagi Nasabah dan Transaksi Short Selling oleh Perusahaan Efek (POJK 6/2024) pada 2 Mei 2024. Short Selling adalah salah satu cara penjualan saham di mana investor meminjam dana untuk menjual saham yang belum dimiliki dengan harga tinggi dengan harapan akan membeli kembali dan mengembalikan pinjaman saham ke pialangnya pada saat saham turun. Selain itu, transaksi Short Selling juga didefinisikan dalam Pasal 1 POJK 6/2024 yang merupakan transaksi penjualan Efek dimana Efek dimaksud tidak dimiliki oleh penjual pada saat transaksi dilaksanakan.
Penerbitan POJK 6/2024 bertujuan meningkatkan likuiditas dan pendalaman pasar keuangan melalui pembiayaan transaksi margin dan/atau transaksi Short Selling serta memperkuat manajemen risiko bagi Perusahaan Efek yang memberikan pembiayaan transaksi Efek kepada nasabah ataupun Perusahaan Efek yang melakukan transaksi Short Selling.
Beberapa ketentuan yang diatur mengenai ketentuan aturan baru dalam POJK 6/2024 adalah: 1. Persyaratan Pembiayaan Transaksi Margin dan Transaksi Short Selling Perusahaan Efek yang memberikan pembiayaan dana melalui Transaksi Margin wajib mempunyai sumber pembiayaan yang cukup dari ekuitas maupun pendanaan dari pihak lain untuk membiayai penyelesaian transaksi pembelian Efek sebagaimana diatur dalam Pasal 4 POJK 6/2024. Selain itu Perusahaan Efek wajib menetapkan tingkat faktor pengurang nilai pasar wajar Efek sesuai dengan risikonya sebesar persentase tertentu dari nilai pasar wajar Efek (Haircut) atas Efek yang dapat digunakan sebagai Jaminan Pembiayaan selain Efek yang ditransaksikan dengan pembiayaan.
Perusahaan Efek yang memberikan pembiayaan Efek melalui Transaksi Short Selling wajib memiliki perikatan dengan Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Pendanaan Efek, Perusahaan Efek lain, bank kustodian, dan/atau Pihak lain yang disetujui Otoritas Jasa Keuangan untuk meminjam Efek yang diperlukan bagi penyelesaian Transaksi Short Selling sebagaimana diatur dalam Pasal 6 POJK 6/2024.
Perusahaan Efek dapat melakukan pengambilalihan kewajiban penyelesaian Transaksi Margin nasabah dari Perusahaan Efek lain, dengan memenuhi ketentuan prosedur pengambilalihan yang ditetapkan dalam peraturan Bursa Efek.
2. Data Transaksi Margin atau Transaksi Short Selling Berdasarkan Pasal 15 POJK 6/2024, Bursa Efek wajib untuk menyediakan data Transaksi Margin dan/atau Transaksi Short Selling kepada publik. Penyediaan data tersebut harus dimulai dalam waktu 1 (satu) tahun sejak berlakunya POJK 6/2024.
3. Transaksi Short Selling oleh Perusahaan Efek Ketentuan yang harus dipenuhi oleh Perusahaan efek yang melakukan transaksi Short Selling untuk kepentingan sendiri sebagaimana diatur dalam Pasal 46 POJK 6/2024 adalah: A. Sebelum melakukan Transaksi Short Selling, Perusahaan efek yang telah mendapat persetujuan dari Bursa Efek harus membuka rekening terpisah untuk transaksi Short Selling dengan menyisihkan dana atau efek minimal 50% (lima puluh persen) dari nilai transaksi. Selain itu Perusahaan Efek juga harus memastikan memiliki efek lain yang dapat dikonversi, telah meyelesaikan hak atas opsi atau waran untuk memperoleh efek dan telah melakukan perjanjian pinjam-meminjam efek yang digunakan untuk penyelesaian transasksi Short Selling. B. Pada saat transaksi Short Selling pertama terjadi, nilai aset yang disisihkan ditambah dana yang diterima dari penjualan Efek melalui Transaksi Short Selling paling sedikit 150% (seratus lima puluh persen) dari nilai Transaksi. Nilai aset ini harus disimpan oleh Perusahaan Efek paling sedikit 135% (seratus tiga puluh lima persen) dari nilai pasar wajar Efek pada Posisi Short. C. Perusahaan Efek dilarang melakukan Transaksi Short Selling atas Efek selain yang ditetapkan Bursa Efek sebagai Efek yang dapat ditransaksikan secara Short Selling. Apabila Efek tidak lagi memenuhi syarat yang ditetapkan Bursa Efek sebagai Efek yang dapat ditransaksikan secara Short Selling, Transaksi Short Selling Perusahaan Efek yang sudah berjalan diselesaikan paling lambat 5 (lima) Hari Bursa sejak Efek tidak lagi memenuhi syarat yang ditetapkan Bursa Efek.
4. Setoran Jaminan Awal Investor Berdasarkan Pasal 34 POJK 6/2024, jaminan awal yang disetor pada transaksi pertama kepada Bursa Efek terkait harus memenuhi jumlah minimum 50% dari nilai transaksi Short Selling atau Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan digunakan angka yang lebih tinggi diantara keduanya. Penyetoran ini dilakukan dengan menggunakan Rekening Efek Pembiayaan Transaksi Short Selling dan penilaian jaminan awal berupa Efek wajib memperhitungkan Haircut.
5. Pembatasan transaksi Short Selling Berdasarkan Pasal 46 POJK 6/2024, Transaksi Short Selling Perusahaan Efek dibatasi dengan ketentuan: A. Harga penawaran jual yang dimasukkan dalam sistem perdagangan Bursa Efek sama dengan atau di atas harga yang terjadi terakhir di Bursa Efek B. Perusahaan Efek memberi tanda “short selling” pada saat pelaksanaan order jual pada sistem perdagangan Bursa Efek
6. Pengecualian Kewajiban Transaksi Efek Short Selling Perusahaan Efek yang melakukan transaksi Short Selling atas Efek Underlying sebagai liquidity provider yaitu anggota bursa efek yang telah disetujui untuk memperdagangkan efek dan mempunyai kewajiban melakukan penawaran jual dan permintaan beli Efek secara harian, akan dikecualikan dari kewajiban yang berlaku pada Transaksi Efek Short Selling secara berkala sebagaimana diatur dalam Pasal 47 POJK 6/2024. Bursa Efek wajib untuk menetapkan persyaratan khusus minimum yang berlaku untuk liquidity provider.
Maka dari itu, penetapan POJK 6/2024 yang mencabut POJK 55/2020 dengan penyempurnakan ketentuan yang diatur, khususnya dengan memperkuat aspek permodalan dengan tujuan meningkatkan likuiditas transaksi. Hal ini terlihat pada pengurangan jaminan awal yang wajib disetor oleh Investor, sehingga memungkinkan pembiayaan transaksi efek untuk memenuhi kebutuhan Investor menjadi lebih luas. Tidak hanya itu, salah satu poin penting POJK 6/2024 adalah persyaratan bagi Perusahaan Efek dalam menetapkan pedoman dan prosedur manajemen risiko yang memadai, serta mencakup informasi tentang jenis efek yang memenuhi syarat untuk dibiayai dan nilai jaminan yang harus dipelihara. Hal ini bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan transaksi yang tidak dapat diselesaikan dengan tepat waktu, serta menjamin ketersediaan efek dan meminimalkan risiko yang mungkin terjadi pada Perusahaan Efek.
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja
Kiki Setiawan & Partners Law Office provides legal consultancy related to Corporate & Commercial legal matters, please call us at +62 21 2963 8070 or drop us an email at mail@ksplaw.co.id.
Berdasarkan Laporan International Labor Organisation (ILO) tentang Kekerasan dan Pelecehan Seksual pada Tempat Kerja di Indonesia, terdapat lebih dari 70% dari 1173 responden yang mengalami kekerasan seksual di tempat kerja. Sejalan dengan adanya kenaikan laporan kekerasan kerja di Indonesia serta pemberlakuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Kekerasan Seksual, Kementerian Ketenagakerjaan mengeluarkan Ketetapan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 88 Tahun 2023 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja (Kepmenaker 88/2023). Melalui peraturan tersebut, pengusaha memiliki kewajiban untuk mengupayakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di tempat kerja.
Cakupan kekerasan seksual pada Kepmenaker 88/2023 mencakup kekerasan seksual fisik, kekerasan seksual non-fisik, hingga kekerasan seksual berbasis elektronik. Ketetapan tersebut juga menyediakan contoh detail terkait jenis-jenis kekerasan seksual.
Terdapat peran para pihak dalam mewujudkan tujuan Kepmenaker 88/2023, yakni: 1. Pengusaha yang berkewajiban menyusun dan menginformasikan kebijakan serta memastikan tidak terjadi tindak kekerasan seksual; 2. Pekerja/buruh yang berpartisipasi aktif dalam upaya pencegahan; 3. Serikat buruh/serikat pekerja yang membantu perusahaan dalam penyebarluasan informasi kebijakan; 4. Pihak terkait yang sedang berada di tempat kerja untuk mematuhi kebijakan yang berlaku; 5. Satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di tempat kerja yang dibentuk perusahaan untuk menyusun dan melaksanakan upaya pencegahan; dan 6. Kementerian dan dinas ketenagakerjaan yang melakukan pembinaan dan pemantauan pelaksanaan.
Kepmenaker 88/2023 dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu pencegahan dan penanganan. Terkait pencegahan, upaya yang dilakukan adalah sebagai berikut. 1. Mengatur kebijakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama; 2. Melaksanakan edukasi kepada para pihak di tempat kerja; 3. Meningkatkan kesadaran diri; 4. Menyediakan sarana dan prasarana kerja yang memadai; dan 5. Mempublikasikan gerakan anti kekerasan seksual di tempat kerja.
Mengenai penanganan, Kepmenaker 88/2023 mengatur bahwa tempat kerja harus mengakomodasi pengaduan, penanganan secara segera dan tanpa diskriminasi, pendampingan, perlindungan, pemberian sanksi oleh perusahaan, serta pemulihan korban.
Terhadap penerbitan Kepmenaker 88/2023, Hariyadi B. Sukamdani selaku Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyatakan bahwa Apindo sebagai wadah dunia usaha di Indonesia menyambut baik terbitnya Kepmenaker 88/2023 dengan harapan dunia kerja yang aman dan bebas dari pelecehan dan tindak kekerasan seksual.
Wajib Tahu, Berikut Aturan Terbaru Penerbitan Pertimbangan Teknis Impor Produk Elektronik
Kiki Setiawan & Partners Law Office provides legal consultancy related to Corporate & Commercial legal matters, please call us at +62 21 2963 8070 or drop us an email at mail@ksplaw.co.id.
Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memperketat masuknya produk impor elektronik dari luar negeri ke dalam negeri. Kebijakan tersebut dituangkan dalam aturan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 6 Tahun 2024 tentang Tata Cara Penerbitan Pertimbangan Teknis Impor Produk Elektronik. Dalam aturan ini ada 78 barang elektronik impor yang dibatasi, diantaranya adalah pompa sentrifugal dan pompa air submersible, kipas meja dan kipas lantai, kulkas atau lemari pendingin, lampu sorot dan lampu LED, mesin cuci tipe rumah tangga hingga rice cooker. Diharapkan dengan adanya peraturan ini dapat mendukung stabilitas industri produk elektronik nasional dan peningkatan kualitas produk elektronik dalam negeri.
Berikut ketentuan penerbitan pertimbangan teknis impor produk elektronik: A. Persyaratan Pelaku Usaha Impor Produk Elektronik Berdasarkan Pasal 3 Permenperin 6/2024, untuk memperoleh Persetujuan Impor, Pelaku Usaha pemilik Angka Pengenal Importir Produsen (API-P) atau Pelaku Usaha pemilik Angka Pengenal Importir Umum (API-U) harus memiliki Pertimbangan Teknis yang diterbitkan oleh Menteri.
Kewajiban Pelaku Usaha pemilik API-P untuk dapat mengajukan permohonan penerbitan Pertimbangan Teknis sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Permenperin 6/2024 adalah: 1. Memenuhi komitmen Perizinan Berusaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan 2. Terdaftar di siinas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan 3. Menyampaikan data industri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara penyampaian data industri, data Kawasan industri, dan informasi lain melalui siinas bagi Pelaku Usaha pemilik API-P yang merupakan Perusahaan Industri 4. Menyampaikan data industri tahap pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara penyampaian data industri, data kawasan industri, dan informasi lain melalui siinas bagi Pelaku Usaha pemilik API-P yang merupakan Perusahaan Industri yang masih dalam tahap pembangunan 5. Menyampaikan laporan kegiatan usaha secara berkala melalui siinas setiap tanggal 1 Februari dan 1 Agustus setiap tahunnya bagi Pelaku Usaha pemilik API-P yang merupakan Perusahaan Non Industri.
Kewajiban Pelaku Usaha pemilik API-U untuk dapat mengajukan permohonan penerbitan Pertimbangan Teknis sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Permenperin 6/2024 adalah: 1. Memenuhi komitmen Perizinan Berusaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan 2. Terdaftar di siinas sesuai dengan ketentuanperaturan perundang-undangan 3. Menyampaikan laporan realisasi distribusi Produk Elektronik tahun sebelumnya melalui SIINas setiap tanggal 1 Februari dan 1 Agustus.
B. Tata Cara Penerbitan Pertimbangan Teknis Tata cara penerbitan pertimbangan teknis oleh Pelaku Usaha pemilik API-P sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Permenperin 6/2024 adalah: 1. Melakukan pengisian: a. Rencana produksi yang memuat keterangan mengenai pos tarif/harmonized system, uraian Barang, nama Barang, standar mutu, jenis, dan/atau spesifikasi teknis sesuai klasifikasi komoditas dan jumlah/volume dengan satuan yang sudah terstandar b. Rencana Impor yang memuat keterangan mengenai pos tarif/harmonized system, uraian Barang, nama Barang, standar mutu, jenis, dan/atau spesifikasi teknis sesuai klasifikasi komoditas, jumlah/volume dengan satuan yang sudah terstandar, negara muat Barang, pelabuhan tujuan untuk 1 (satu) postarif/ harmonized system dan perkiraan nilai Barang dalam mata uang Dollar Amerika Serikat (USD) c. Realisasi Impor tahun sebelumnya yang memuat keterangan mengenai tanggal permohonan Pertimbangan Teknis, nomor dan tanggal Persetujuan Impor dari kementerian yang menyelenggarakan pemerintahan dibidang urusan perdagangan, nomor dan tanggal pemberitahuan Impor Barang, negara muat Barang, pos tarif/ harmonized system, uraian Barang, nama Barang, standar mutu, jenis, dan/atau spesifikasi teknis sesuai klasifikasi komoditas, jumlah/volume dengan satuan yang sudah terstandar, pelabuhan tujuan untuk 1 (satu) postarif/ harmonized system, dannilai Barang dalam mata uang Dollar Amerika Serikat (USD) dan data laporan produksi dan kebutuhan bahan baku tahun sebelumnya sesuai isian siinas
2. Mengunggah dokumen berupa: a. Perizinan berusaha b. Penjelasan teknis mengenai tujuan penggunaan barang yang akan diimpor dilengkapi dengan gambar pendukungnya paling sedikit berupa tujuan penggunaan barang dan gambar barang c. Surat pernyataan bermeterai mengenai kebenaran data dan dokumen serta menggunakan, memanfaatkan, dan/atau mendistribusikan produk elektronik yang diimpor berdasarkan peruntukannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Tata cara penerbitan pertimbangan teknis oleh Pelaku Usaha pemilik API-U sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Permenperin 6/2024 adalah: 1. Melakukan pengisian: a. Rencana Impor yang memuat keterangan mengenai pos tarif/ harmonized system, uraian Barang, nama Barang, standar mutu, jenis, dan/atau spesifikasi teknis sesuai klasifikasi komoditas, jumlah/volume dengan satuan yang sudah terstandar, negara muat Barang, pelabuhan tujuan untuk 1 (satu) pos tarif/harmonized system, dan perkiraan nilai Barang dalam mata uang Dollar Amerika Serikat (USD) b. Realisasi Impor tahun sebelumnya yang memuatketerangan mengenai nomor dan tanggal permohonan Pertimbangan Teknis nomor dan tanggal Persetujuan Impor dari Kementerian urusanperdagangan, nomor dan tanggal pemberitahuan Impor Barang, negara muat Barang, pos tarif/ harmonized system, uraian Barang, nama Barang, standar mutu, jenis, dan/atau spesifikasi teknis sesuai klasifikasi komoditas, jumlah/volume dengan satuan yang sudah terstandar, pelabuhan tujuan untuk 1 (satu) postarif/ harmonized system; dan nilai Barang dalam mata uang Dollar Amerika Serikat (USD) c. Rencana distribusi yang memuat keteranganmengenai pos tarif/ harmonized system, uraian Barang, nama Barang, standar mutu, jenis, dan/atau spesifikasi teknis sesuai klasifikasi komoditas dan jumlah/volume produk jadi dengan satuanyang sudah terstandar per provinsi d. Data laporan distribusi tahun sebelumnya yang memuat keterangan mengenai pos tarif/ harmonized system, uraian Barang, nama Barang, standar mutu, jenis, dan/atau spesifikasi teknis sesuai klasifikasi komoditas dan jumlah/volume produk jadi dengan satuan yang sudah terstandar per provinsi
2. Mengunggah dokumen berupa: a. Perizinan Berusaha b. Kerja sama keagenan atau distributor dengan pemegang merek bagi Impor Barang yang tidak digunakan sebagai Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong c. Kontrak kerja sama atau kontrak penjualan dengan mitra baik distributor maupun Pelaku Usaha pengguna akhir yang memuat jenis Barang dan jumlah Barang bagi Impor Barang yang digunakan sebagai Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong d. Penjelasan teknis mengenai tujuan penggunaan Barang yang akan diimpor dilengkapi dengan gambar pendukungnya paling sedikit berupatujuan penggunaan Barang dan gambar Barang e. Surat pemyataan bermeterai mengenai kebenaran data dan menggunakan, memanfaatkan, dan/atau mendistribusikan Produk Elektronik diimpor berdasarkan peruntukannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Apabila persyaratan telah dipenuhi dan diserahkan, maka Direktur Jenderal menugaskan Direktur untuk melakukan verifikasi kesesuaian data dan dokumen yang diajukan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Permenperin 6/2024. Jika terdapat ketidaksesuaian, permohonan penerbitan Pertimbangan Teknis dikembalikan kepada Pelaku Usaha untuk dilakukan perbaikan. Berdasarkan Pasal 9 Permenperin 6/2024, dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah permohonan penerbitan Pertimbangan Teknis dinyatakan lengkap dan sesuai, Direktur Jenderal akan menerbitkan Pertimbangan Teknis atau penolakan Pertimbangan Teknis.
Pendekatan Restorative Justice dalam Sistem Pidana Indonesia
Berkembangnya Indonesia dalam berbagai bidang, turut membawa beberapa kemajuan dalam bidang hukum. Salah satunya adalah dengan adanya Restorative Justice sebagai opsi penyelesaian perkara hukum. Keadilan Restoratif atau Restorative Justice berdasarkan Pasal 1 Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 adalah penyelesaian perkara tindak pidana yang melibatkan pelaku korban, keluarga korban/pelaku, serta pihak lainnya untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.
Penuntut umum berwenang menutup perkara demi kepentingan hukum yang dilakukan dalam hal terdakwa meninggal dunia, kadaluwarsa penuntutan pidana, telah ada putusan pengadilan yang memeroleh kekuatan hukum tetap terhadap seorang atas perkara yang sama, pengaduan untuk tindak pidana aduan dicabut, dan telah ada penyelesaian perkara di luar pengadilan. Ketentuan untuk melakukan penyelesaian perkara di luar pengadilan berdasarkan Pasal 3 Peraturan Kejaksaan RI 15/2020 adalah: 1. Untuk pidana tertentu, maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; atau 2. Adanya pemulihan kembali keadaan semula (Restorative Justice). Penghentian penuntutan dengan Restorative Justice ini dilakukan oleh Penuntut Umum yang bertanggung jawab dan diajukan secara berjenjang ke Kepala Kejaksaan Tinggi.
Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam penghentian penuntutan berdasakan Restorative Justice sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Peraturan Kejaksaan RI 15/2020 adalah : 1. Subjek, objek, kategori, dan ancaman tindak pidana; 2. Latar belakang terjadinya tindak pidana; 3. Tingkat ketercelaan; 4. Kerugian akibat tindak pidana; 5. Cost and benefit penanganan perkara; 6. Pemulihan kembali pada keadaan semula; dan 7. Adanya perdamaian antara korban dan tersangka.
Berdasarkan Pasal 5 Peraturan Kejaksaan RI 15/2020, syarat perkara tindak pidana diberhentikan penuntutannya berdasarkan Restorative Justice adalah: 1. Tersangkan pertama kali melakukan tindak pidana; 2. Tindak pidana hanya diancam dengan denda atau penjara tidak lebih dari 5 tahun; 3. Tindak pidana dilakukan dengan nilai kerugian tidak lebih dari Rp 2.500.000,00.
Selain itu, syarat penghentian tuntutan dengan Restorative Justice harus memenuhi: 1. Adanya pemulihan kembali pada keadaan semula oleh tersangka dengan cara: a. Mengembalikan barang yang diperoleh dari tindak pidana kepada korban; b. Mengganti kerugian korban; c. Mengganti biaya akibat tindak pidana; dan/atau d. Memperbaiki kerusakan akibat tindak pidana 2. Adanya kesepakatan damai antara korban dan tersangka; dan 3. Respon positif masyarakat.
Pemenuhan syarat penghentian penuntutan berdasarkan Restorative Justice menjadi pertimbangan Penuntut Umum untuk menentukan dapat atau tidaknya berkas perkara dilimpahkan ke pengadilan.
Berdasarkan Pasal 5 Peraturan Kejaksaan RI 15/2020, Penghentian penuntutan berdasarkan Restorative Justice dikecualikan untuk perkara: 1. Terhadap keamanan negara, martabat presiden dan wakil presiden, negara sahabar, kepala negara sahabat serta wakil, ketertiban umum dan kesusilaan; 2. Diancam dengan ancaman pidana minimal; 3. Narkotika; 4. Lingkungan hidup; 5. Dilakukan oleh korporasi.
Kiki Setiawan & Partners Law Office provides legal consultancy related to Restorative Justice and other criminal legal issues, please call us at +62 21 2963 8070 or drop us an email at mail@ksplaw.co.id.
Standar Industri Hijau Untuk Industri Baja Lembaran Lapis
Kiki Setiawan & Partners Law Office provides legal consultancy related to Corporate & Commercial legal matters, please call us at +62 21 2963 8070 or drop us an email at mail@ksplaw.co.id.
Industri Hijau adalah industri yang dalam proses produksinya mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan sehingga mampu menyelaraskan pembangunan industri dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta dapat memberikan manfaat bagi masyarakat. Standar Industri Hijau yang selanjutnya disingkat SIH adalah standar untuk mewujudkan Industri Hijau yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian. Baja Lembaran Lapis adalah baja yang dikemas dalam bentuk lembaran dan gulungan yang dilapisi seng, seng wama, aluminium-seng, aluminium-seng wama, dan timah elektrolisa. Pemerintah menetapkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 12 Tahun 2023 Tentang Standar Industri Hijau Untuk Industri Baja Lembaran Lapis.
Berikut persyaratan teknis standar industri hijau untuk industri produk baja lembaran lapis:
1. Aspek Bahan Baku Sumber bahan baku yang termasuk ke dalam persyaratan teknis standar industri hijau untuk industri baja lembaran lapis adalah: a. Sumber Bahan Baku Utama Bahan Baku bersumber dari dalam negeri atau luar negeri yang diperoleh secara legal sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Verifikasi dilakukan melalui kegiatan pemeriksaan dokumen, catatan data dan bukti pendukung terkait terhadap: a) Untuk Bahan Baku dalam negeri terhadap Purchase Order (PO) dan Delivery Order (DO) b) Untuk Bahan Baku luar negeri terhadap Nomor Induk Berusaha yang berlaku sebagai Angka Pengenal Importir Produsen dan Pemberitahuan Impor Barangyang dapat disetakan dengan certificate of origin.
Pemenuhan spesifikasi Bahan Baku dimaksudkan agar sesuai dengan Market Specification atau Buying Specification dan harus sudah melakukan Verifikasi CoA, Mill test certificate (MTC) dari pemasok atau hasil pengujian laboratorium internal.
Penanganan Bahan Baku berupa perlakuan terhadap bahan baku dilakukan berdasarkan karakteristik bahan baku yang dipasok dengan harapan mencapai standar kualitas yang diharapkan. Verifikasi penanganan bahan baku dilakukan terhadap dokumen SOP penanganan Bahan Baku (prosedur penerimaan, penyimpanan, pengangkutan, dan pemakaian) dan pelaksanaan SOP di lapangan.
Rasio Total Produk terhadap Total Penggunaan Bahan Baku adalah: a. Bj LS untuk konstruksi: minimum 98% (sembilan puluh delapan persen) b. Bj LS untuk engineering: minimum 96,4% (sembilan puluh enam koma empat persen) c. Bj LAS: minimum 98% (sembilan puluh delapan persen) d. Bj LS dan Bj LAS Warna; minimum 98% (sembilan puluh delapan persen) e. Bj LTE: minimum 98% (sembilan puluh delapan persen)
b. Sumber Bahan Penolong Sumber Bahan Penolong Bahan Penolong bersumber dari dalam negeri atau luar negeri yang diperoleh secara legal sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Verifikasi dilakukan melalui kegiatan pemeriksaan dokumen, catatan data dan bukti pendukung terkait terhadap: a) Untuk Bahan Baku dalam negeri terhadap Purchase Order (PO) dan Delivery Order (DO) b) Untuk Bahan Baku luar negeri terhadap Nomor Induk Berusaha yang berlaku sebagai Angka Pengenal Importir Produsen dan Pemberitahuan Impor Barangyang dapat disetakan dengan certificate of origin.
Pemenuhan Spesifikasi Bahan Penolong sesuai dengan Market Specification atau Buying Specification dan harus melakukan verifikasi SDS dan CoA dari pemasok. Penanganan Bahan Baku Penolong dilakukan dengan memperhatikan aktivitas di dalam pabrik mulai dari penerimaan bahan baku dari pemasok, disimpan , hingga penanganan tumpahan dan eceran. Bahan penolong harus ditangani dengan baik agar tidak mengubah kualitas yang akan berdampak pada kualitas proses produksi.
2. Aspek Energi Aspek Energi yang termasuk ke dalam persyaratan teknis standar industri hijau untuk industri baja lembaran lapis adalah: a. Konsumsi Energi Total Spesifik per Lini Produksi (Production Line) Indikator kinerja energi yang umum digunakan adalah konsumsi energi listrik spesifik dan energi panas spesifik. Perhitungan konsumsi energi listrik dan panas untuk setiap lini produksi (production line) berdasarkan kriterianya adalah: a) Bj LS untuk Konstruksi Batasan BJ LS untuk mesin konstruksi yang dapat menghasilkan produk dengan ketebalan 0,20 mm-1,20 mm adalah maksimum 1,27 GJ/ton sedangakn untuk mesin yang dapat menghasilkan produk dengan ketebalan 0,20 mm-3,00 mm adalah maksimum 1,92 GJ/ton. Verifikasi data penggunaan energi listrik dan energi panas untuk memproduksi Baja Lembaran Lapis setiap bulannya selama 12 (dua belas) bulan terakhir dan produksi Baja Lembaran Lapis setiap bulannya selama (dua belas) bulan terakhir b) Bj LS untuk Engineering Batasan maksimum 2,40 GJ/ton c) Bj LAS Batasan untuk mesin dapat yang menghasilkan produk dengan ketebalan 0,20 mm-1,20 mm adalah maksimum 2,00 GJ/ton, sedangkan untuk mesin yang dapat menghasilkan produk dengan ketebalan 0,20 mm-3,00 mm adalah maksimum 1,49 GJ/ton d) Bj LS dan Bj LAS Wama Batasan untuk mesin yang dapat menghasilkan produk dengan lebar 762 mm-914 mm adalah 1,35 GJ/ton. Sedangkan untuk mesin dapat yang menghasilkan produk dengan lebar 762 mm-1219 mm adalah 2,84 GJ/ton e) Bj LTE Batasan Bj LTE adalah maksimum 1,37 GJ/ton.
b. Penggunaan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) Penggunaan energi baru dan terbarukan di Indonesia perlu percepatan demi mewujudkan ketahanan energi dalam negeri serta dukungan dari sektor industri untuk mengendalikan emisi gas rumah kaca. Penggunaan EBT sebagai pengganti bahan bakar fosil merupakan salah satu kriteria penting dalam standar Industri Hijau untuk industri baja lembaran lapis. Verifikasi dokumen perencanaan penggunaan EBT berdasarkan laporan perusahaan.
3. Aspek Air Aspek Air yang termasuk ke dalam persyaratan teknis standar industri hijau untuk industri baja lembaran lapis adalah: a. Konsumsi Make-Up Fresh Water Spesifik per Lini Produksi (Production Line) Verifikasi dilakukan melalui kegiatan pemeriksaan dokumen data penggunaan Make-up Fresh Water setiap bulan selama 12 (dua belas) bulan terakhir, data produksi riil Baja Lembaran Lapis setiap bulan selama 12 (dua belas) bulan terakhir dan perhitungan penggunaan make-Up Fresh Water spesifik. Perhitungan penggunaan Make-up Fresh Water dan produksi riil Baja Lembaran Lapis berdasarkan kriteria pekerjaannya adalah: a) Bj LS untuk Konstruksi Untuk mesin yang dapat menghasilkan produk dengan ketebalan 0,20 mm1,20 mm adalah maksimum 0,54 m3/ton. Sedangkan untuk mesin yang dapat menghasilkan produk dengan ketebalan 0,20 mm-3,00 mm adalah maksimum 0,72 m3/ton. b) Bj LS untuk Engineering Batasan maksimum adalah 2,55 m3/ton c) Bj LAS Untuk mesin yang dapat menghasilkan produk dengan ketebalan 0,20 mm-1,20 mm adalah maksimum 0,88 m3/ton. Sedangkan untuk mesin yang dapat menghasilkan produk dengan ketebalan 0,20 mm-3,00 mm adalah maksimum 0,58 m3/ton. d) Bj LS dan Bj LAS Warna Untuk mesin yang dapat menghasilkan produk dengan lebar 762 mm-914 mm adalah maksimum 0,09 m3/ton. Sedangkan untuk mesin yang dapat menghasilkan produk dengan lebar 762 mm-1219 mm adalah maksimum 0,37 m3/ton. e) Bj LTE Batasan maksimum 3,80 m3/ton
4. Aspek Proses Produksi Aspek Proses Produksi yang termasuk ke dalam persyaratan teknis standar industri hijau untuk industri baja lembaran lapis adalah dengan melihat kinerja Peralatan yang Dinyatakan dalam OEE per Lini Produksi (Production Line). OEE adalah metode untuk mengetahui Tingkat kesempurnaan proses produksi. Proses yang sempurna adalah proses yang menghasilkan output yang baik dalam waktu yang lebih cepat, sama atau mendekati waktu yang direncanakan untuk produksi. Perhitungan dengan OEE dappay mengidentifikasi presentase waktu produktif dari keseluruhan waktu yang digunakan untuk menyelesaikan proses produksi.
Komponen perhitungan OEE mencakup: a. Availability Index, yaitu waktu waktu produksi produksi riil dibandingkan dengan waktu produksi yang direncanakan. Nilai Availability Index 100% (seratus persen) menunjukkan bahwa proses selalu berjalan dalam waktu yang sesuai dengan waktu produksi yang telah direncanakan (tidak pernah ada down time yang tidak terencana) b. Production Performance Index, yaitu tingkat produksi riil dibandingkan dengan tingkat produksi yang terbaik Best Demonstrated Performance (BDP). c. Quality Performance Index (QPI), yaitu jumlah produksi yang sesuai dengan standar (good products) dibandingkan dengan total produksi. Nilai 100% (seratus persen) untuk QPI menunjukkan bahwa produksi tidak menghasilkan produk gagal
5. Aspek Produk Aspek Produk yang termasuk ke dalam persyaratan teknis standar industri hijau untuk industri baja lembaran lapis adalah Standar Mutu Produk. Dalam rangka perlindungan konsumen dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan, produk yang dihasilkan suatu perusahaan hams memenuhi standar mutu yang berlaku, dapat berupa SNI atau spesifikasi teknis menurut peraturan yang berlaku. Verifikasi dilakukan melalui pemeriksaan Dokumen SPPT-SNI yang masih berlaku atau hasil uji yang mengacu pada SNI oleh laboratorium yang terakreditasi ISO 17025 pada periode 12 (dua belas) bulan terakhir.
6. Aspek Kemasan Aspek Kemasan yang termasuk ke dalam persyaratan teknis standar industri hijau untuk industri baja lembaran lapis adalah material kemasan yang bersifat apat dipakai ulang (reuseable) atau dapat didaur ulang (recycleable) atau mudah terurai secara alamiah [biodegradable). Aspek kemasan ini antara lain berupa kertas, plastik, kayu, dan sisa-sisa potongan baja. Batasan 100% (seratus persen) yang dimaksud adalah bahwa setiap jenis kemasan yang digunakan bersifat dapat dipakai ulang (reuseable) atau dapat di daur ulang (recycleable). Verifikasi dilakukan melalui pemeriksaan daftar atau informasi material kemasan yang digunakan (faktur pembelian bahan, manifes pengadaan bahan dari supplier), berbagai referensi atau pustaka yang tersedia terkait material input ramah lingkungan, atau peryataan tertulis dari pemasok tentang bahan kemasan yang digunakan untuk kemasan yang berasal dari ekstemal perusahaan.
7. Aspek Pengelolaan Limbah Aspek Pengelolaan Limbah yang termasuk ke dalam persyaratan teknis standar industri hijau untuk industri baja lembaran lapis adalah: a. Sarana Pengelolaan Limbah Cair Batasan sarana pengelolaan limbah cair dalam persyaratan teknis standar industri hijau untuk industri baja lembaran lapis adalah: a) Memiliki IPAL mandiri atau IPAL yang dikelola oleh pihak ketiga yang memiliki izin. Verifikasi keberadaan IPAL, kondisi operasional IPAL (berfungsi atau tidak). b) Memiliki IPLC / Persetujuan Teknis (Pertek) untuk Pemenuhan Baku Mutu Limbah Cair yang dikeluarkan Pemerintah Pusat, Pemerinteih Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota. Verifikasi dokumen IPLC/ Persetujuan Teknis (Pertek) untuk Pemenuhan Baku Mutu Limbah Cair yang masih berlaku. c) Memiliki personil yang tersertifikasi sebagai PPPA dan POPAL. Verifikasi dilakukan melalui pemeriksaan data sertifikat PPPA dan sertifikat POPAL yang masih berlaku.
b. Pemenuhan Parameter Limbah Cair terhadap Baku Mutu Lingkungan Batasan pemenuhan parameter limbah cair terhadap baku mutu lingkungan dalam persyaratan teknis standar industri hijau untuk industri baja lembaran lapis adalah pemenuhan baku mutu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Verifikasi dilakukan melalui pemeriksaan laporan hasil uji dari laboratorium terakreditasi ISO 17025 dan teregistrasi sebagai laboratorium lingkungan yang tercantum dalam dokumen pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup pada periode 2 (dua) semester terakhir. Dalam hal belum terdapat laboratorium Aspek Kriteria Baku Mutu undangan. Lingkungan yang terakreditasi, dapat menggunakan laboratorium lain yang telah mendapat penunjukan dari gubenur sebagai laboratorium lingkungan.
c. Sarana Pengelolaan Emisi Gas Buang Dan Udara Batasan sarana pengelolaan emisi gas buang dan udara dalam persyaratan teknis standar industri hijau untuk industri baja lembaran lapis adalah: a) Memiliki sarana pengelolaan emisi gas buang dan udara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Verifikasi keberadaan dan operasional (berfungsi atau tidak) sarana pengelolaan emisi gas buang dan udara dan/atau pengelolaan emisi yang mengacu kepada dokumen lingkungan. b) Memiliki personil yang tersertifikasi sebagai PPPU dan POPEU. Verifikasi sertifikat PPPU dan sertifikat POPEU yang masih berlaku.
d. Pemenuhan Parameter Emisi Gas Buang, Udara Ambien, dan Gangguan Terhadap Baku Mutu Lingkungan Batasan pemenuhan parameter emisi gas buang, udara ambien, dan gangguan terhadap baku mutu lingkungan adalah pemenuhan baku mutu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Verifikasi laporan basil uji dari laboratorium terakreditasi ISO 17025 dan teregistrasi yang tercantum dalam dokumen pengelolaan lingkungan lidup pada periode 2 (dua) semester terakhir. Dalam hal belum terdapat laboratorium yang terakreditasi dan teregistrasi, dapat menggunakan aboratorium lain yang telah mendapat penunjukan dari gubernur sebagai aboratorium lingkungan.
e. Pengelolaan Limbah B3 Batasan pengelolaan limbah B3 dalam persyaratan teknis standar industri hijau untuk industri baja lembaran lapis adalah: a) Memiliki izin pengelolaan limbah B3/ persetujuan teknis (pertek) pengelolaan limbah B3 dan standar teknis/rincian teknis Penyimpanan Limbah B3 yang diintegrasikan ke dalam Persetujuan Lingkungan dan/atau diserahkan pada pihak ketiga yang memiliki izin Pengelolaan Limbah B3/ Persetujuan Teknis Pengelolaan Limbah B3. Verifikasi izin pengelolaan limbah B3/ persetujuan teknis (pertek) pengelolaan limbah B3 dan standar teknis/rincian teknis Penyimpanan Limbah B3 yang dikeluarkan oleh pihak berwenang dan masih berlaku; izin pengangkutan limbah B3 oleh pihak ketiga yang memiliki izin dan masih berlaku; dan dokumen manifest pengangkutan limbah B3 pada periode 12 (dua belas) bulan terakhir. b) Memiliki tempat penyimpancin sementara (TPS) limbah B3 yang dilengkapi dengan izin TPS Limbah B3/standar teknis/ rincian teknis Penyimpanan Limbah B3 yang diintegrasikan ke dalam Persetujuan Lingkungan. Verifikasi keberadaan dan operasional dari TPS Limbah B3 (berfungsi atau tidak).
f. Pengelolaan Limbah Non-B3 Penyelenggaraan pengelolaan limbah non B3 meliputi pengurangan, penyimpanan, pemanfaatan, penimbunan, pengangkutan, dan perpindahan lintas batas Limbah non B3.Perusahaan Industri wajib melakukan pengelolaan limbah non-83 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengurangan limbah non-B3 dapat dilakukan sebelum atau sesudah limbah non-B3 dihasilkan. Pengurangan limbah non-B3 sebelum limbah non-B3 dihasilkan dapat dilakukan dengan cara modifikasi proses atau penggunaan teknologi ramah lingkungan. Pengurangan limbah non-B3 Sesudah limbah non-B3 dihasilkan dapat dilakukan dengan cara penggilingan (grinding), pencacahan (shredding), pemadatan (compacting), termal dan/atau sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Verifikasi pengelolaan limbah non-B3 dan ketentuan yang tertuang dalam dokumen lingkungan pada periode 2 (dua) semester terakhir serta keberadaaan dan kondisi operasional sarana pengelolaan limbah non-B3.
g. Tingkat Daur Ulang dan/atau Daur Pakai Limbah Padat Batasan Tingkat daur ulang dalam persyaratan teknis standar industri hijau untuk industri baja lembaran lapis adalah adalah minimum 97% (sembilan puluh tujuh persen). Verifikasi data penggunaan total limbah padat (scrap, dross, atau sludge) yang dihasilkan setiap bulannya selama 12 (dua belas) bulan terakhir; dan penggunaan total limbah padat (scrap, dross, atau sludge) yang dimanfaatkan baik internal maupun ekstemal perusahaan setiap bulannya selama 12 (dua belas) bulan terakhir.
8. Aspek Emisi Gas Rumah Kaca Kegiatan industri merupakan salah satu penyumbang emisi GRK diantaranya emisi CO2 yang diyakini menjadi penyebab terjadinya pemanasan global. Emisi dari sektor industry berasal dari penggunaan energi, proses penggunaan produk/industrial processes dan production use (IPPU) dan limbah yang dihasilkan. Penetapan batasan emisi GRK pada SIH ini hanya untuk emisi yang bersumber dari penggunaan energi, sedangkan emisi dari IPPU dan limbah diabaikan karena nilainya sangat kecil.
Emisi CO2 yang bersumber dari penggunaan energi dibagi menjadi: a. Emisi langsung ([/i]Direct emission[/i]) Emisi langsung (Direct emission) adalah semua emisi yang dihasilkan dibawah kendali perusahaan diantaranya emisi dari pembakaran bahan bakar fosil dari proses produksi. Perhitungan emisi langsung dibanding Baja Lembaran Lapis berdasarkan kriteria pekerjaannya adalah: a) Bj LS untuk konstruksi adalah untuk mesin yang dapat menghasilkan produk dengan ketebalan 0,20 mm-1,20 mm adalah maksimum 0,063 ton C02eq/ton produk sedangkan untuk mesin yang dapat menghasilkan produk dengan ketebalan 0,20 mm-3,00 mm adalah maksimum 0,085 ton C02eq/ton produk. b) Bj LS untuk engineering adalah maksimum 0,091 ton C02eq /ton produk c) Bj LAS untuk mesin yang dapat menghasilkan produk dengan ketebalan 0,20 mm-1,20 mm adalah maksimum 0,076 ton C02eq /ton produk sedangakn untuk mesin yang dapat menghasilkan produk dengan ketebalan 0,20 mm-3,00 mm adalah maksimum 0,054 ton C02eq /ton produk. d) Bj LS dan Bj LAS Warna untuk mesin yang dapat menghasilkan produk dengan lebar 762mm-914 mm adalah maksimum 0,070 ton C02eq /ton produk sedangkan untuk mesin yang dapat menghasilkan produk dengan lebar 762 mm-1219 mm adalah maksimum 0,131 ton C02eq /ton produk. e) Bj LTE adalah maksimum 0,039 ton C02eq / ton produk.
Verifikasi dibuktikan pemeriksaan terhadap: a) Data penggunaan energi fosil sebagai bahan bakar untuk proses produksi Baja Lembaran Lapis pada setiap bulannya selama 12 (dua belas) bulan terakhir b) Data produksi riil pada setiap bulannya selama 12 (dua belas) bulan terakhir c) Faktor emisi setiap bahan bakar fosil digunakan dan data Global Warming Potential (GWP) masing-masing jenis GRK.
b. Emisi tidak langsung (indirect emission) Emisi tidak langsung (indirect emission) adalah semua emisi yang berasal dari listrik, uap, panas yang dibeli dari pihak lain. Perhitungan emisi tidaK langsung dibanding Baja Lembaran Lapis berdasarkan kriteria pekerjaannya adalah: a) Bj LS untuk konstruksi untuk mesin yang dapat menghasilkan produk dengan ketebalan 0,20 mm - 1,20 mm adalah maksimum 0,048 ton C02eq /ton produk sedangkan untuk mesin yang dapat menghasilkan produk dengan ketebalan 0,20 mm-3,00 mm adalah maksimum 0,097 ton C02eq /ton produk. b) Bj LS untuk engineering adalah maksimum 0,177 ton C02eq/ton produk c) Bj LAS untuk mesin yang dapat menghasilkan produk dengan ketebalan 0,20 mm-1,20 mm adalah maksimum 0,160 ton C02eq/ton produk sedangkan untuk mesin yang dapat menghasilkan produk dengan ketebalan 0,20 mm-3,00 mm adalah maksimum 0,143 ton C02eq/ton produk. d) Bj LS dan Bj LAS Warna adalah untuk mesin yang dapat menghasilkan produk dengan lebar 762 mm-914 mm adalah maksimum 0,079 ton C02eq/ton produk sedangkan untuk mesin yang dapat menghasilkan produk dengan lebar 762 mm-1219 mm adalah maksimum 0,122 ton C02eq/ton produk. e) Bj LTE adalah maksimum 0,190 ton C02eq/ton produk.
Verifikasi dibuktikan dengan pemeriksaan terhadap: a) Data penggunaan energi listrik dan/atau energi lain yang dibeli dari pihak ketiga pada setiap bulannya selama 12 (dua belas) bulan terakhir b) Data produksi riil pada setiap bulannya selama 12 (dua belas) bulan terakhir c) Faktor emisi yang digunakan.
Hal-Hal yang Harus Diperhatikan Dalam Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan Fasilitas Penanaman Modal
Kiki Setiawan & Partners Law Office provides legal consultancy related to Corporate & Commercial legal matters, please call us at +62 21 2963 8070 or drop us an email at mail@ksplaw.co.id.
Dalam memulai suatu usaha tentunya kita harus mempersiapkan apa saja hal-hal yang harus diurus khusunya perizinan, terlebih jika usaha yang akan dilaksanakan memiliki risiko yang cukup tinggi. Pemerintah dalam hal ini sudah mempermudah para pemilik usaha untuk dapat segera menjalankan usahanya, pedoman dan tata cara pelayanan perizinan berusaha berbasis resiko dan fasilitas penanaman modal sebagaimana yang diatur dalam Peraturan BKPM Nomor 4 Tahun 2021. Pedoman dan tata cara pelayanan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan Fasilitas Penanaman Modal bertujuan bertujuan untuk tercapainya pelayanan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan Fasilitas Penanaman Modal yang terintegrasi secara elektronik, terstandar, cepat, sederhana, dan transparan. Layanan yang diatur adalah layanan penerbitan Perizinan Berusaha; dan layanan Fasilitas Penanaman Modal.
Berikut hal-hal yang harus diperhatikan untuk perizinan berusaha berbasis risiko dan fasilitas penanaman modal: 1. Jenis Perizinan Berusaha Perizinan Berusaha dibagi menjadi: A. Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Perizinan Berusaha Berbasis Risiko adalah Perizinan Berusaha berdasarkan tingkat Risiko kegiatan usaha. Berdasarkan Pasal 7 BKPM 4/2021, perizinan ini diterbitkan melalui OSS dengan memperhatikan penetapan tingkat risiko, peringkat skala kegiatan usaha meliputi UMK-M dan/atau usaha besar, dan luas lahan sebagaimana tercantum pada lampiran peraturan pemerintah tentang penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
Tingkat resiko dalam Perizinan Berusaha Berbasis Resiko yang dikaitkan dengan KBLI atas kegiatan atau bidang usaha yang akan dilakukan oleh Pelaku Usaha dibagi menjadi tingkat resiko rendah, menengah rendah, menengah tinggi dan tinggi.
Pada Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang terdiri dari NIB, Izin, dan Sertifikat Standar. Lembaga OSS menerbitkan NIB berdasarkan: a. Tingkat risiko b. Ketentuan bidang usaha penanaman modal c. Ketentuan minimum investasi d. Ketentuan permodalan
B. Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha Pelaku usaha dapat mengajukan permohonan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha yang mencakup standar usaha atau standar produk yang dapat diajukan sebelum atau sesudah tahap operasional dan komersial sesuai dengan ketentuan Kementerian sebagaimana diatur dalam Pasal 8 BKPM 4/2021. Standar Produk yang diajukan diterbitkan oleh Lembaga OSS atas nama menteri/kepala lembaga pemerintah non kementerian.
2. Kriteria Modal Dalam menjalankan kegiatan usaha terdapat ketentuan nilai investasi dan permodalan yang harus diperhatikan bagi UMK-M dan PMA. A. Usaha Mikro : Rp1.000.000.000,00 B. Usaha Kecil : Rp1.000.000.000,00 hingga Rp5.000.000.000,00 C. Usaha Menengah : lebih dari Rp5.000.000.000,00 hingga Rp10.000.000.000,00
PMA dikategorikan sebagai usaha besar dan wajib mengikuti ketentuan minimum nilai investasi yaitu total investasi lebih besar dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), di luar tanah dan bangunan per bidang usaha KBLI 5 (lima) digit per lokasi proyek. Berdasarkan Pasal 12 BKPM 4/2021, ketentuan total investasi bagi PMA ini dikecualikan untuk kegiatan usaha berikut ini: 3. Ketentuan bidang usaha Ketentuan bidang usaha yang harus diperhatikan oleh Pelaku Usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 15 BKPM 4/2021 adalah: A. KBLI B. Bidang usaha yang diklasifikasikan sebagai bidang usaha prioritas C. Bidang usaha dengan persyaratan tertentu D. Bidang usaha yang dialokasikan bagi koperasi dan umk-m dan bidang usaha yang terbuka untuk usaha besar yang bermitra dengan koperasi dan UMK-M E. Bidang usaha yang tertutup bagi penanaman modal F. Bidang usaha khusus (single purpose dan single majority) G. Peraturan perundang-undangan yang terkait
4. Layanan Fasilitas Penanaman Modal Layanan Fasilitas penanaman modal sebagaimana diatur dalam Pasal 5 BKPM 4/2021, mencangkup sektor kelautan dan perikanan, pertanian, lingkungan hidup dan kehutanan, energi dan sumber daya mineral, ketenaganukliran, perindustrian, perdagangan, pekerjaan umum dan perumahan rakyat, transportasi, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pariwisata, keagamaan, telekomunikasi, pertahanan dan keamanan, ketenagakerjaan serta keuangan.
Layanan Fasilitas Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 BKPM 4/2021 adalah: A. Layanan fasilitas fiscal Layanan fasilitas fiscal mencakup: a. Fasilitas pembebasan bea masuk atas impor b. Fasilitas pajak penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu c. Fasilitas pengurangan pajak penghasilan badan d. Fasilitas pengurangan pajak penghasilan badan dan fasilitas pajak penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan di daerah-daerah tertentu pada kek e. Fasilitas pengurangan penghasilan bruto atas kegiatan penelitian dan pengembangan tertentu di indonesia f. Pemberian pengurangan penghasilan bruto atas penyelenggaraan kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran dalam rangka pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia berbasis kompetensi tertentu g. Pemberian fasilitas pengurangan penghasilan neto atas penanaman modal baru atau perluasan usaha pada bidang usaha tertentu yang merupakan industri padat karya.
B. Layanan fasilitas non fiscal Layanan fasilitas non fiskal berupa rekomendasi keimigrasian terdiri atas: a. Rekomendasi alih status izin tinggal kunjungan menjadi izin tinggal terbatas b. Rekomendasi alih status izin tinggal terbatas menjadi izin tinggal tetap.
5. Fasilitas Penanaman Modal Fasilitas Penanaman Modal yang diperoleh mencakup fasilitas: A. Pembebasan Bea Masuk atas Impor Fasilitas pembebasan bea masuk atas impor mencakup fasilitas: a. Pembebasan Bea Masuk atas Impor Mesin Tidak Termasuk Suku Cadang untuk Pembangunan atau Pengembangan Industri (Ps. 69) Diberikan kepada Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha dibidang industri yang menghasilkan barang dan/atau industri yang menghasilkan jasa. Fasilitas ini dapat diberikan dalam rangka Pembangunan atau Pengembangan. Fasilitas ini dapat diajukan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak: a) Diterbitkannya NIB bagi Pelaku Usaha baru; atau b) Dicantumkannya kegiatan usaha yang akan dimintakan fasilitasnya pada NIB dalam rangka penambahan kegiatan usaha.
Pengajuan fasilitas pembebasan bea masuk atas impor mesin diajukan oleh Pelaku Usaha sebelum Saat Mulai Berproduksi Komersial, dikecualikan terhadap Pelaku Usaha pemegang izin usaha pertambangan. Pembebasan bea masuk diberikan jangka waktu pengimporan selama 2 (dua) tahun terhitung sejak berlakunya keputusan pembebasan bea masuk dan dapat diberikan perpanjangan selama 2 (dua) tahun, kecuali untuk impor mesin dalam rangka pengembangan dengan maksud modernisasi, rehabilitasi dan/atau restrukturisasi.
b. Pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang dan Bahan untuk Pembangunan atau Pengembangan Industri (Ps. 70) Diberikan kepada Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha dibidang industri yang menghasilkan barang dan/atau industri yang menghasilkan jasa. Pelaku Usaha yang telah menyelesaikan pembangunan industri serta siap produksi, kecuali bagi industri yang menghasilkan jasa, dapat diberikan pembebasan bea masuk atas impor barang dan bahan. Pengajuan tersebut dapat dilakukan paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak Pelaku Usaha sudah berproduksi komersial. Pembebasan bea masuk diberikan untuk keperluan produksi selama 2 (dua) tahun sesuai kapasitas terpasang dan jangka waktu pengimporan atas pembebasan bea masuk diberikan selama 2 (dua) tahun terhitung sejak berlakunya keputusan pembebasan bea masuk.
c. Pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang Modal dalam Rangka Pembangunan atau Pengembangan Industri Pembangkitan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum (Ps. 71) Diberikan kepada perseroan terbatas perusahaan listrik negara (Persero) (PT PLN (Persero)) atau Pelaku Usaha lainnya di bidang usaha ketenagalistrikan. Pengajuan fasilitas pembebasan bea masuk atas impor mesin diajukan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak diterbitkannya Izin/izin usaha penyediaan tenaga listrik (IUPTL). Fasilitas ini diberikan sesuai dengan rencana impor barang (RIB) kebutuhan proyek yang telah disetujui dan ditandasahkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral. Fasilitas ini diberikan jangka waktu 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali yaitu 1 (satu) sejak berakhirnya jangka waktu dalam keputusan pembebasan bea masuk.
d. Pembebasan atau Keringanan Bea Masuk dan/atau Pembebasan Pajak Pertambahan Nilai atas Impor Barang dalam Rangka Kontrak Karya (KK) atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) (Ps. 72) Dalam hal ini Pelaku usaha wajib wajib memiliki wilayah usaha, perjanjian jual beli tenaga listrik (power purchase agreement/PPA) dengan PT PLN (Persero), perjanjian sewa guna usaha (finance lease agreement/FLA) dengan PT PLN (Persero) atau perjanjian jual beli tenaga listrik dengan pemegang izin usaha pembangkit tenaga listrik (IUPTL) yang memiliki wilayah usaha. Fasilitas ini dapat diberikan kepada pelaku usaha/kontraktor yang memiliki KK atau PKP2B. Pembebasan atau keringanan bea masuk dan/atau pembebasan pajak pertambahan nilai diberikan sesuai dengan jangka waktu yang tercantum dalam kontrak. Pengajuan fasilitas dilakukan setiap tahun berdasarkan rencana kerja anggaran belanja (RKAB) yang telah disetujui dan ditandasahkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral, dengan ketentuan bahwa jangka waktu fasilitas pembebasan atau keringanan bea masuk dan/atau pembebasan pajak pertambahan nilai atas impor barang untuk KK dan PKP2B berakhir pada tanggal 31 Desember pada tahun berjalan.
Fasilitas penanaman modal atas pembebasan bea masuk atas impor diberikan sepanjang mesin, barang dan bahan, serta barang modal belum diproduksi di dalam negeri, sudah diproduksi di dalam negeri namun belum memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan atau sudah diproduksi di dalam negeri namun jumlahnya belum mencukupi kebutuhan industri, berdasarkan daftar mesin, barang dan bahan, serta barang modal yang ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian.
Pelaku usaha yang mengajukan fasilitas bea masuk atas impor sebagaimana yang harus mengisi data permohonan, mengunggah dan mengirimkan dokumen yang dipersyaratkan serta harus dilakukan klarifikasi teknis. Pelaku usaha yang terkena kewajiban penggunaan produk dalam negeri untuk mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk atas impor mesin, barang dan bahan, serta barang modal dengan melampirkan rekomendasi dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian.
B. Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah Tertentu Merujuk kepada Pasal 2 ayat (3) PP 78 Tahun 2019 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu, mengenai kriteria dan kegiatan usaha yang dapat mengajukan fasilitas yaitu: a. Memiliki nilai investasi yang tinggi atau untuk ekspor; b. Memiliki penyerapan tenaga kerja yang besar; atau c. Memiliki kandungan lokal yang tinggi.
Pengajuan fasilitas dapat diajukan melalui OSS, namun bila tidak tersedia, pengajuan permohonan fasilitas pajak penghasilan badan dapat dilakukan secara luar jaringan (luring) sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Peraturan BKPM Nomor 5 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Fasilitas Pajak Penghasilan Badan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu Secara Luar Jaringan.
C. Pengurangan Pajak Penghasilan Badan Merujuk kepada Permenkeu Nomor 130/PMK.010/2020 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan, untuk dapat memperoleh pengurangan Pajak Penghasilan badan harus memenuhi kriteria yangmerupakan Industri Pionir, berstatus sebagai badan hukum Indonesia dan melakukan penanaman modal baru paling sedikit sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) yang belum pernah diterbitkan. Kemudian Pengurangan Pajak Penghasilan badan diberikan sebesar: a. 100% (seratus persen) dari jumlah Pajak Penghasilan badan yang terutang untuk penanaman modal baru paling sedikit Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah); atau b. 50% (lima puluh persen) dari jumlah Pajak Penghasilan badan yang terutang untuk penanaman modal baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan nilai paling sedikit Rpl00.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dan paling banyak kurang dari Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah).
Setelah jangka waktu pemberian pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana berakhir, Pelaku Usaha diberikan pengurangan Pajak Penghasilan badan sebesar: a. 50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan badan terutang selama 2 (dua) tahun pajak berikutnya untuk nilai penanaman modal baru; atau b. 25% (dua puluh lima persen) dari Pajak Penghasilan badan terutang selama 2 (dua) tahun pajak berikutnya untuk nilai penanaman modal baru.
D. Pengurangan Pajak Penghasilan Badan dan Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah Tertentu pada KEK Merujuk pada Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penentuan Pemenuhan Kriteria dan Pengajuan Permohonan Fasilitas Pajak Penghasilan Secara Luar Jaringan di Kawasan Ekonomi Khusus, Badan Usaha dan Pelaku Usaha di KEK diberikan fasilitas berupa pajak penghasilan yaitu fasilitas pengurangan pajak penghasilan badan atau fasilitas pajak penghasilan untuk Penanaman Modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/ atau di daerah-daerah tertentu. Permohonan fasilitas pajak penghasilan diajukan oleh Badan Usaha atau Pelaku Usaha secara dalam jaringan (daring) melalui sistem OSS dan bila tidak tersedia dapat dilakukan dengan luring yaitu diajukan kepada BKPM.
E. Pengurangan Penghasilan Bruto atas Kegiatan Penelitian dan Pengembangan Tertentu di Indonesia Merujuk pada Permenkeu Nomor 153/PMK.010/2020 Tahun 2020 tentang Pemberian Pengurangan Penghasilan Bruto Atas Kegiatan Penelitian Dan Pengembangan Tertentu Di Indonesia, Wajib Pajak yang melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan tertentu di Indonesia, dapat diberikan pengurangan penghasilan bruto paling tinggi 300% (tiga ratus persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan Penelitian dan Pengembangan tertentu di Indonesia yang dibebankan dalam jangka waktu tertentu. Pengurangan tersebut meliputi pengurangan penghasilan bruto sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan Penelitian dan Pengembangan dan tambahan pengurangan penghasilan bruto sebesar paling tinggi 200% (dua ratus persen) dari akumulasi biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan Penelitian dan Pengembangan dalam jangka waktu tertentu.
F. Penghasilan Bruto atas Penyelenggaraan Praktik Kerja, Pemagangan dan/atau Pembelajaran dalam Rangka Pembinaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Berbasis Kompetensi Tertentu Merujuk kepada Permenkeu Nomor 128 /PMK.010/2019 tentang Pemberian Pengurangan Penghasilan Bruto atas Penyelenggaraan Praktik Kerja, Pemagangan dan/atau Pembelajaran dalam Rangka Pembinaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Berbasis Kompetensi Tertentu, Wajib Pajak dapat diberikan pengurangan penghasilan bruto paling tinggi 200% (dua ratus persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/ atau pembelajaran yang meliputi: a. Pengurangan penghasilan bruto sebesar 100% dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/ atau pembelajaran; dan b. Tambahan pengurangan penghasilan bruto sebesar paling tinggi 100% dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan pembelajaran.
G. Pengurangan Penghasilan Neto atas Penanaman Modal Baru atau Perluasan Usaha pada Bidang Usaha Tertentu yang Merupakan Industri Padat Karya Merujuk pada Permenkeu Nomor 16/PMK.010/2020 Tahun 2020 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Penghasilan Neto Atas Penanaman Modal Baru Atau Perluasan Usaha Pada Bidang Usaha Tertentu Yang Merupakan Industri Padat Karya, Wajib Pajak yang melakukan Penanamnan Modal pada industri padat karya dapat diberikan fasilitas Pajak Penghasilan berupa pengurangan penghasilan neto sampai tingkat tertentu terhadap jumlah Penanaman Modal dalamjangka waktu tertentu. Dalam hal ini kriterianya adalah merupakan Wajib Pajak badan dalam negeri, melakukan Kegiatan Usaha Utama sesuai bidang usaha dengan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) tahun 2017, memiliki cakupan produk tertentu, pada daerah tertentu, dengan persyaratan tertentu dan mempekerjakan tenaga kerja Indonesia atas Penanaman Modal yang mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan paling sedikit 300 (tiga ratus) orang.
Pemerintah Terbitkan PP Terbaru Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 mengubah beberapa ketentuan dalam PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Peraturan Pemerintah ini disusun sebagai upaya dukungan kepastian investasi sub sektor pertambangan dan pelaksanaan program hilirisasi nasional. Beberapa substansi perubahan ketentuan, antara lain terkait dengan pengertian Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB), jangka waktu perpanjangan Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) milik anak Perusahaan BUMN, kriteria kegiatan Operasi Produksi yang terintegrasi dengan fasilitas Pengolahan dan/atau Pemurnian Mineral Logam dan Pengembangan dan/atau Pemanfaatan Batubara, peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui penawaran pengelolaan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) secara prioritas kepada Badan Usaha (BU) yang dimilliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan, dan kriteria perpanjangan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian.
Berikut perubahan ketentuan Pelaksanaan Kegiatan Usaha pertambangan mineral dan batubara: 1. Persyaratan Lelang WIUP Mineral logam/WIUP Batubara Syarat pelaksanaan lelang WIUP Mineral logam atau WIUP Batubara yang harus dipenuhi calon peserta lelang sebagaimana diatur dalam Pasal 22 PP 25/2024 adalah: a. Syarat administratif Persyaratan administratif yang harus dipenuhi berdasarkan jenis badan usahanya adalah: a) Badan Usaha Persyaratan administratif yang harus dipenuhi oleh Badan Usaha paling sedikit meliputi nomor induk berusaha, profil Badan Usaha, susunan pengurus, daftar pemegang saham, daftar Pemilik Manfaat dari Badan Usaha. b) Koperasi Koperasi harus memenuhi persyaratan administratif paling sedikit meliputi nomor induk berusaha, profil Koperasi, susunan pengurus dan daftar pemilik manfaat dari Koperasi. c) Perusahaan perseorangan Perusahaan perseorangan paling sedikit harus memenuhi syarat yang meliputi nomor induk berusaha, profil perusahaan perseorangan, susunan pengurus dan daftar pemilik manfaat dari perusahaan perseorangan.
b. Syarat teknis dan pengelolaan lingkungan Persyaratan teknis dan pengelolaan lingkungan yang harus dipenuhi adalah: a) Pengalaman Badan Usaha, Koperasi, atau perusahaan perseorangan di bidang Pertambangan Mineral atau Batubara, atau bagi perusahaan baru harus mendapat dukungan dari perusahaan lain yang bergerak di bidang Pertambangan b) Mempunyai personil yang berpengalaman dalam bidang Pertambangan dan/atau geologi paling sedikit 3 (tiga) tahun c) Surat pernyataan kesanggupan untuk mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup d) RKAB selama kegiatan Eksplorasi.
c. Syarat finansial. Persyaratan finansial wajib meliputi laporan keuangan 3 (tiga) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik atau surat keterangan dari akuntan publik bagi Perusahaan baru, surat keterangan fiskal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, menempatkan jaminan kesungguhan lelang dalam bentuk uang tunai di bank pemerintah sebesar 10% (sepuluh persen) dari nilai kompensasi data informasi, dan surat pernyataan kesanggupan membayar nilai penawaran lelang WIUP Mineral logam atau WIUP Batubara dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah pengumuman pemenang lelang.
2. Perpanjangan Jangka Waktu Kegiatan Operasi Produksi Perpanjangan jangka waktu kegiatan operasi produksi sebagaimana diatur dalam Pasal 54 PP 25/2024 adalah: a. Untuk Pertambangan Mineral logam sebanyak 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun, b. Untuk Pertambangan Mineral bukan logam sebanyak 2 (dua) kali masing-masing 5 (lima) tahun, c. Untuk Pertambangan Mineral bukan logam jenis tertentu sebanyak 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun, d. Untuk Pertambangan batuan sebanyak 2 (dua) kali masing-masing 5 (lima) tahun, dan e. Untuk Pertambangan Batubara sebanyak 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun.
Jangka waktu kegiatan Operasi Produksi yang terintegrasi dengan fasilitas Pengolahan dan/atau Pemurnian atau terintegrasi dengan kegiatan Pengembangan dan/atau Pemanfaatan dapat diberikan perpanjangan selama 10 (sepuluh) tahun setiap kali perpanjangan.
3. Kriteria Kegiatan Operasi Produksi Kriteria yang harus dipenuhi oleh kegiatan Operasi Produksi berdasarkan jenis komoditasnya sebagaimana diatur dalam Pasal 56 PP 25/2024 adalah: a. Komoditas Mineral logam a) Kegiatan Pengolahan dan/atau Pemurnian dilakukan oleh Badan Usaha pemegang IUP yang melakukan Penambangan, atau kegiatan Pengolahan dan/atau Pemurnian dilakukan oleh Badan Usaha lain yang melakukan kegiatan Pengolahan dan/atau Pemurnian dengan kriteria kepemilikan saham pemegang IUP secara langsung atau tidak langsung sebesar paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dan tidak dapat terdilusi b) Memiliki ketersediaan cadangan untuk memenuhi kebutuhan operasional fasilitas Pengolahan dan/atau Pemurnian.
b. Komoditas Batubara a) Kegiatan Pengembangan dan/atau Pemanfaatan dilakukan oleh Badan Usaha pemegang IUP yang melakukan Penambangan, atau kegiatan Pengembangan dan/atau Pemanfaatan dilakukan oleh Badan Usaha lain yang melakukan kegiatan Pengembangan dan/atau Pemanfaatan dengan kriteria kepemilikan saham pemegang IUP secara langsung atau tidak langsung sebesar paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dan tidak dapat terdilusi b) Memiliki ketersediaan cadangan untuk memenuhi kebutuhan operasional fasilitas kegiatan Pengembangan dan/atau Pemanfaatan c) Memenuhi ketentuan jenis Pengembangan dan/atau Pemanfaatan Batubara dan/atau batasan minimum persentase jumlah Batubara yang diproduksi untuk kegiatan Pengembangan dan/atau Pemanfaatan yang ditetapkan oleh Menteri.
4. Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) Secara Prioritas Dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, WIUPK yang merupakan wilayah eks PKP2B dapat dilakukan penawaran secara prioritas selama maksimal 5 (lima) tahun kepada Badan Usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan sebagaimana diatur dalam Pasal 83A PP 25/2024. Kepemilikan saham mayoritas IUPK dimiliki organisasi kemasyarakatan keagamaan yang menjadi pengendali dalam Badan Usaha.
5. Kriteria Perpanjangan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian Berdasarkan Pasal 120 PP 25/2024, IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian dapat diperpanjang 1 (satu) kali selama 10 (sepuluh) tahun. Permohonan perpanjangan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian diajukan kepada Menteri maksimal 5 (lima) tahun atau minimal 1 (satu) tahun sebelum berakhirnya jangka waktu kegiatan Operasi Produksi. Hal- hal yang harus dilengkapi dalam permohonan perpanjangan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian adalah: a. Peta dan batas koordinat wilayah b. Bukti pelunasan iuran tetap dan iuran produksi 3 (tiga) tahun terakhir c. Laporan akhir kegiatan operasi produksi d. Laporan pelaksanaan pengelolaan lingkungan e. RKAB f. Neraca sumber daya dan Cadangan