Penetapan Barang Yang Wajib Menggunakan Atau Melengkapi Label Berbahasa Indonesia
Perdagangan merupakan tatanan kegiatan yang terkait dengan transaksi Barang dan/atau jasa di dalam negeri dan melampaui batas wilayah negara dengan tujuan pengalihan hak atas Barang dan/atau jasa untuk memenuhi imbalan atau kompensasi. Sedangkan barang ialah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan dan dapat dipergadangkan, dipakai, digunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha. Dalam memberikan aturan mengenai perdagangan pemerintah juga telah menetapkan barang-barang yang wajib menggunakan atau melengkapi label di setiap barang atau produk yang akan di perjual-belikan.
Berdasarkan Pasal 2 Permendag 73/2015, Pelaku usaha yang memproduksi atau mengimpor Barang untuk diperdagangkan di Pasar dalam negeri wajib mencantumkan Label dalam Bahasa Indonesia. Kewajiban tersebut harus dilakukan oleh produsen untuk barang produksi dalam negeri dan importir untuk barang asal impor. Daftar Jenis Barang yang wajib diberikan label Bahasa Indonesia untuk diperdagangkan di pasar dalam negeri adalah : 1. Barang elektronik keperluan rumah tangga, telekomunikasi, dan informatika 2. Barang bahan bangunan 3. Barang keperluan kendaraan bermotor (suku cadang dan lainnya) 4. Barang tekstil dan produk tekstil
Label dalam Bahasa indonesia harus menggunakan Bahasa Indonesia yang jelas, mudah dibaca, dan mudah dimengerti. Penggunaan Bahasa, angka, dan huruf selain Bahasa Indonesia, angka arab dan huruf latin dapat digunakan jika tidak ada atau tidak dapat diciptakan padanannya. Bentuk pencantuman label dalam Bahasa Indonesia pada barang maupun kemasan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Permendag 73/2015 adalah: 1. Embos atau tercetak 2. Ditempel atau melekat secara utuh 3. Disertakan atau dimasukkan ke dalam barang dan/atau kemasan
Ukuran besarnya label yang ditempel atau melekat secara utuh harus disesuaikan dengan ukuran barang atau kemasan secara proporsional sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Permendag 73/2015. Para pelaku usaha juga harus memperhatikan pembuatan label barang atau kemasan agar memiliki keterangan atau penjelasan label dengan Bahasa Indonesia yang terkait dengan keselamatan, keamanan, dan Kesehatan konsumen serta lingkungan hidup, sehingga harus memuat 1. Cara penggunaan 2. Simbol bahaya atau tanda peringatan yang jelas dan mudah dimengerti.
Hal yang harus dimuat di dalam label agar dapat menunjukan keterangan mengenai indentitas pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Permendag 73/2015 adalah : 1. Nama dan alamat produsen untuk barang produksi dalam negeri 2. Nama dan alamat importir untuk barang asal impor 3. Nama dan alamat pedagang pegumpul jika memperoleh dan memperdagangkan barang hasil produksi pelaku usaha mikro dan pelaku usaha kecil.
Ketentuan kewajiban pencantuman Label dalam Bahasa tidak berlaku untuk: 1. Barang Curah yang dikemas dan diperdagangkan secara langsung di hadapan konsumen 2. Barang yang diproduksi Pelaku Usaha Mikro dan Pelaku Usaha Kecil.
Perikatan untuk Perindustrian Barang oleh Distributor atau Agen
Pemerintah dalam hal ini telah mengatur hal-hal apa saja yang menjadi dasar perikatan untuk pendistribusian barang. Perikatan untuk perindustrian barang oleh distributor dan agen adalah suatu bentuk perjanjian atau kontrak antara pihak distributor maupun agen dengan pihak produsen atau pemilik merek barang. Produsen dalam negeri dapat menunjuk pelaku usaha distribusi seperti distributor, distributor Tunggal, agen maupun agen Tunggal untuk mendistribusikan Barang kepada pengecer. Penunjukan pelaku usaha distribusi ini dapat dilakukan oleh prinsipal produsen, prinsipal supplier (berdasar persetujuan prinsipal produsen), perusahaan penanaman modal asing yang bergerak sebagai distributor atau kantor perwakilan perusahaan perdagangan asing. Sebagaimana yang kita ketahui para pelaku usaha juga harus menjalin kerjasama dengan para distributor maupun agen untuk dapat mencapai penjualan yang diinginkan.
Perikatan antara Prinsipal dengan Distributor, Distributor Tunggal, Agen, atau Agen Tunggal terhadap Barang produksi luar negeri harus berbentuk perjanjian yang dilegalisir oleh notaris publik dan telah dilengkapi dengan surat keterangan atau legalisir dari Atase Perdagangan Republik Indonesia atau pejabat kantor perwakilan Republik Indonesia di negara Prinsipal. Sedangkan Perikatan antara Prinsipal dengan Distributor, Distributor Tunggal, Agen, atau Agen Tunggal terhadap Barang produksi dalam negeri harus berbentuk perjanjian yang dilegalisir notaris publik. Setiap perjanjian yang hanya ditulis dalam bahasa asing wajib diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah tersumpah.
Hal-hal yang harus dimuat dalam Perjanjian antara Prinsipal dan Pelaku Usaha Distribusi sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Permendag 24/2021 adalah: a. Nama dan alamat lengkap pihak-pihak yang membuat perjanjian b. Maksud dan tujuan perjanjian c. Status keagenan atau kedistributoran d. Jenis barang yang diperjanjikan e. Wilayah pemasaran f. Hak dan kewajiban masing-masing pihak g. Kewenangan h. Jangka waktu perjanjian i. Cara pengakhiran perjanjian j. Cara penyelesaian perselisihan k. Hukum yang dipergunakan l. Tenggang waktu penyelesaian.
Prinsipal dapat membuat perjanjian dengan satu distributor tunggal atau agen tunggal untuk jenis barang yang sama dalam suatu merek di wilayah pemasaran tertentu pada jangka waktu tertentu. Selain itu Prinsipal juga dapat membuat perjanjian dengan satu atau lebih Distributor atau Agen untuk jenis Barang dalam suatu merek di wilayah pemasaran tertentu selama berada di luar wilayah pemasaran Distributor Tunggal atau Agen Tunggal.
Hal-Hal yang dapat menyebabkan berakhirnya suatu perjanjian yang masih berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Permendag 24/2021 adalah a. Perusahaan dibubarkan b. Perusahaan berhenti melakukan kegiatan usahanya c. Bangkrut/ pailit d. Disepakati oleh kedua belah pihak.
Apabila terjadi pemutusan perjanjian diikuti dengan penunjukan Distributor, Distributor Tunggal, Agen, atau Agen Tunggal yang baru sebelum berakhirnya masa Surat Tanda Pendaftaran (STP), maka pelaku usaha distribusi yang baru dapat memperoleh STP setelah tercapainya penyelesaian secara tuntas. Namun apabila dalam 3 (tiga) bulan sejak dilakukan pemutusan perjanjian belum mecapai penyelesaian secara tuntas dan proses penyelesaian secara tuntas tetap diupayakan, maka STP lama dinyatakan tidak berlaku dan Prinsipal dapat menunjuk Distributor, Distributor Tunggal, Agen, atau Agen Tunggal yang baru.
Apabila pemutusan perjanjian secara sepihak oleh Prinsipal tidak diikuti dengan penunjukan Distributor, Distributor Tunggal, Agen, atau Agen Tunggal yang baru, maka Prinsipal wajib untu memasok suku cadang pelaku usaha distribusi maksimal 2 (dua) tahun untuk menjaga kontinuitas pelayanan purna j ual kepada pemakai Barang tersebut.
Cara menyelesaikan perselisihan antara Prinsipal dan Pelaku Usaha Distribusi sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Permendag 24/2021 adalah: a. Musyawarah untuk mufakat b. Arbitrase c. Proses peradilan sesuai hukum yang dipergunakan.
Perikatan untuk perindustrian barang antara distributor atau agen dengan produsen atau pemilik merek sangat penting untuk mengatur hubungan bisnis yang saling menguntungkan dan jelas. Dengan adanya kontrak yang baik, kedua belah pihak dapat bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama dalam memasarkan dan mendistribusikan produk dengan efektif.
Kiki Setiawan & Partners Law Office provides legal consultancy related to Corporate & Commercial legal matters, please call us at +62 21 2963 8070 or drop us an email at mail@ksplaw.co.id.
Dalam rangka menunjang keberhasilan produksi garam nasional di Indonesia, Pemerintah mengesahkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 15 Tahun 2023 tentang Tata Cara Penetapan Sentra Ekonomi Garam Rakyat. Sentra Ekonomi Garam Rakyat (SEGAR) atau Kawasan Usaha Pergaraman ditetapkan pada provinsi yang memiliki potensi pengembangan Usaha Pergaraman dengan syarat tersedia lahan untuk produksi Garam, tersedia prasarana dan sarana Usaha Pergaraman, terdapat pangsa pasar Garam dan terdapat dukungan dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau pemangku kepentingan.
Berikut tata cara penetapan Kawasan Usaha Pergaraman: 1. Pengusulan Kawasan Usaha Pergaraman Pengusulan Kawasan Usaha Pergaraman disampaikan oleh gubernur secara tertulis kepada Menteri. Beberapa hal yang harus ada di dalam proposal Pengusulan Kawasan Usaha Pergaraman sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Permen KP 15/2023 adalah: A. Latar belakang Menjelaskan tentang garis besar pengusulan provinsi berdasarkan pertimbangan permasalahan dan kebutuhan pengembangan Pergaraman.
B. Profil provinsi Menjelaskan paling sedikit mengenai: a. Kondisi Umum Wilayah yang mencakup kondisi perairan laut, kondisi fisik lahan tambak Garam, kondisi klimatologi, dan kondisi ekosistem pesisir. b. Kondisi Infrastruktur Utama dan Penunjang yang mencakup kondisi energi/listrik, air bersih, aksesibilitas dan transportasi, kondisi jaringan irigasi dan kondisi pergudangan. c. Perekonomian Wilayah yang mencakup industri pengolah Garam di wilayah provinsi, Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah dan industri pengguna Garam di wilayah provinsi serta produk domestik regional bruto.
C. Kelembagaan dan sumber daya manusia Menjelaskan tentang profil pelaku usaha, kelembagaan usaha, tenaga kerja Pergaraman antara lain tingkat pendidikan, partisipasi angkatan kerja, dan keberadaan tenaga pendamping.
D. Aktivitas usaha pergaraman E. Lahan garam eksisting dan potensi F. Prasarana dan sarana usaha pergaraman G. Pangsa pasar garam H. Dukungan dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan/atau pemangku kepentingan I. Proyeksi analisis usaha pergaraman
2. Verifikasi Kawasan Usaha Pergaraman Berdasarkan Pasal 6 Permen KP 15/2023, Menteri akan melakukan verifikasi terhadap proposal Kawasan Usaha Pergaraman yang telah diajukan oleh Gubernur. Verifikasi dilakukan melalui verifikasi administrasi dan survei lokasi. Verifikasi administrasi dilakukan untuk memverifikasi kesesuaian proposal dengan kriteria SEGAR. Sedangkan survei lokasi dilakukan untuk memvalidasi kesesuaian usulan lokasi dengan kriteria SEcGAR. Apabila keduanya sesuai, maka Direktur Jenderal dan Tim Kerja akan menyetujui pengajuan proposal Kawasan Usaha Pergaraman.
3. Penetapan Kawasan Usaha Pergaraman Setelah pelaksanaan proses verifikasi, Direktur Jenderal dapat melaksanakan rapat koordinasi lintas kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, atau pemangku kepentingan terkait sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Permen KP 15/2023. Direktur Jenderal menyampaikan rekomendasi penetapan SEGAR berdasarkan hasil verifikasi kepada Menteri. Selanjutnya, Menteri berdasarkan rekomendasi penetapan SEGAR akan menetapkan SEGAR melalui Keputusan Menteri.
Simak! Berikut Syarat Teknis Standar Industri Hijau Untuk Industri Produk Makanan Ringan
Kiki Setiawan & Partners Law Office provides legal consultancy related to Corporate & Commercial legal matters, please call us at +62 21 2963 8070 or drop us an email at mail@ksplaw.co.id.
Industri Produk Makanan Ringan adalah industri dengan kode Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 10710 yang mencakup usaha pembuatan kukis, cracker, dan kue kering baik yang manis maupun asin. Dalam proses pembuatannya, produksi industri produk makanan ringan menggunakan sumber daya energi yang besar, sehingga penting adanya standar operasional yang jelas. Dalam rangka efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya untuk menyelaraskan dengan pembangunan industri dan kelestarian fungsi lingkungan hidup, Pemerintah melalui Menteri Perindustrian menetapkan Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2022 (Permenperin 39/2022) Tentang Standar Industri Hijau Untuk Industri Produk Makanan Ringan.
Berikut pesyaratan teknis standar industri hijau untuk industri produk makanan ringan: 1. Aspek Bahan Baku Sumber bahan baku yang termasuk ke dalam persyaratan teknis standar industri hijau untuk industri produk makanan ringan adalah: a. Sumber Bahan Baku Utama Sumber Bahan Baku Utama seperti tepung terigu dan gula harus diperoleh dari sumber yang legal yang dapat berasal dari sumber internal (lokal) maupun eksternal (impor). Verifikasi dilakukan melalui kegiatan pemeriksaan dokumen, catatan data, dan bukti pendukung yang terkait, meliputi pemeriksaan bukti/ sertifikat asal bahan baku dari dalam negeri dan/atau impor yang masih berlaku.
b. Sumber Bahan Baku Penolong Sumber Bahan Baku Penolong seperti shortening, air, flavor, garam, minyak, food additives (emulsifier, pewarna, pengembang, vitamin dll), telur, powder, susu, seasoning, filler, kacang, desiccated coconut dan cocoa powder harus diperoleh dari sumber yang legal dan halal. Sedangkan untuk metode verifikasinya dilakukan melalui kegiatan pemeriksaan dokumen, catatan data, dan bukti pendukung yang terkait, meliputi pemeriksaan bukti/ sertifikat halal asal Bahan Baku.
Penanganan bahan baku utama dan bahan baku penolong dilakukan dengan SOP dalam prosedur penanganan masing-masing bahan yang dijalankan secara konsisten. Optimasi dan minimasi penggunaan bahan baku merupakan elemen terpenting dalam penerapan konsep Industri Hijau di industri. Penggunaan bahan baku secara efisien akan berdampak positif terhadap pengurangan biaya produksi sekaligus mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Dalam pembuatan Produk Makanan Ringan, penggunaan air cukup signifikan sehingga dimasukan ke dalam perhitungan rasio produk terhadap pemakaian Bahan Baku Utama dan Bahan Baku Penolong.
2. Aspek Energi Aspek Energi yang termasuk ke dalam persyaratan teknis standar industri hijau untuk industri produk makanan ringan adalah: a. Konsumsi energi listrik spesifik Energi listrik dapat berasal dari Perusahan Listrik Negara (PLN) maupun pembangkit listrik sendiri yang berbahan bakar fosil seperti bahan bakar minyak (BBM), batu bara, gas alam, dan sejenisnya. Konsumsi energi listrik spesifik diatur maksimum 218 kWh/ton dengan metode verifikasi pemeriksaan penggunaan energi listrik pada periode 12 (dua belas) bulan terakhir dan melakukan pemeriksaan produksi riil pada periode 12 (dua belas) bulan terakhir. b. Konsumsi energi panas Energi panas adalah energi yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar untuk menghasilkan steam, tetapi tidak termasuk energi panas yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar untuk menghasilkan listrik pada pembangkit listrik sendiri. Konsumsi energi panas spesifik diatur maksimum 2,65 GJ/ton dengan metode verifikasi pemeriksaan penggunaan energi panas pada periode 12 (dua belas) bulan terakhir dan melakukan pemeriksaan produksi riil pada periode 12 (dua belas) bulan terakhir.
3. Aspek Air Konsumsi air spesifik diatur maksimum 0,25 m3/ton dengan metode verifikasi pemeriksaan penggunaan make-up/fresh water pada periode 12 (dua belas) bulan terakhir dan melakukan pemeriksaan produksi riil pada periode 12 (dua belas) bulan terakhir.
4. Aspek Proses Produksi Proses produksi harus dilakukan dengan peralatan yang dinyatakan sesuai dengan standar OEE (Overall Equipment Effectiveness) minimum 75% dari total peralatan. OEE adalah matriks yang mengidentifikasi persentase waktu produktif dari keseluruhan waktu yang digunakan untuk menyelesaikan aktifitas produksi. Komponen perhitungan OEE mencakup: a. Availability Index (Al), yaitu waktu produksi aktual dibandingkan dengan waktu produksi yang direncanakan. Nilai Availability Index 100% menunjukkan bahwa proses selalu berjalan dalam waktu yang sesuai dengan waktu produksi yang telah direncanakan (tidak pernah ada down time). Waktu produksi yang direncanakan telah dikurangi dengan down time yang direncanakan b. Production Performance Index (PPI), yaitu tingkat produksi sebenarnya dibandingkan dengan tingkat produksi yang terbaik (ideal run rate) c. Quality Performance Index (QPI), yaitu kualitas produk sebenarnya dibandingkan dengan target kualitas. Hal ini berkaitan dengan jumlah produk gagal (defect) dan produk sisa (scrap). Nilai 100% untuk Quality Performance Index menunjukkan bahwa produksi tidak menghasilkan produk cacat sama sekali. Produk cacat adalah produk yang tidak memenuhi target kualitas yang tidak dapat di-recycle atau di-reuse ke dalam proses produksi.
Metode verifikasi yang dilakukan dengan memperhatikan waktu produksi yang direncanakan dan waktu produksi aktual pada periode 12 (dua belas) bulan terakhir, produksi riil dan Good Product pada periode 12 (dua belas) bulan terakhir dan ideal run rate kinerja peralatan.
5. Aspek Produk Spesifikasi produk wajib memenuhi SNI 2973:2018 Biskuit atau revisinya atau permintaan konsumen. Metode verifikasi dengan pemeriksaan data dokumen SPPT SNI biskuit yang masih berlaku, hasil uji parameter yang sesuai dengan SNI 2973:2018 Biskuit atau revisinya oleh laboratorium yang terakreditasi ISO 17025 pada periode 12 (dua belas) bulan terakhir dan/atau dokumen permintaan khusus dari konsumen.
6. Aspek Kemasan Kemasan untuk Prociuk Makanan Ringan terdiri dari kemasan primer dan kemasan sekunder. Kemasan primer adalah kemasan yang langsung bersentuhan dengan produk seperti plastik, sedangkan kemasan sekunder adalah kemasan yang tidak langsung bersentuhan dengan produk seperti karton. Limbah dari pemakaian material kemasan telah disepakati menjadi salah satu parameter penentu untuk mencapai industri hijau. Limbah dari pemakaian kemasan primer maksimum 3% sedangkan kemasan sekunder maksimum 1%. Metode verifikasi dilakukan dengan perhitungan waste packaging selama 12 (dua belas) bulan terakhir.
7. Aspek Limbah Pengelolaan limbah dimaksudkan untuk menurunkan tingkat cemaran yang terdapat dalam limbah sehingga aman untuk dibuang ke lingkungan. Oleh sebab itu, industri perlu memiliki sarana pengelolaan limbah yang sesuai dengan jenis limbah yang dihasilkan. Pengelolaan limbah harus berdasarkan izin pengelolaan limbah B3/Persetujuan Teknis Pengelolaan Limbah B3 dan diserahkan pada pihak ketiga yang memiliki izin Pengelolaan Limbah B3/Persetujuan Teknis Pengelolaan Limbah B3. Metode verifikasi akan dilakukan dengan memeriksa keberadaan dan operasional (berfungsi atau tidak) sarana pengelolaan limbah B3 dan izin pengelolaannya yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
8. Aspek Emisi Gas Rumah Kaca Kegiatan industri merupakan salah satu penyumbang ermsi gas rumah kaca (GRK) di antaranya emisi C02 yang diyakini menjadi penyebab terjadinya pemanasan global. Secara umum, perhitungan emisi gas rumah kaca dilakukan dengan menggunakan konsep neraca massa. Untuk menyederhanakan dan mempermudah perhitungan, digunakan suatu faktor pengali yang disebut dengan faktor emisi, yakni suatu nilai representatif yang menghubungkan kuantitas emisi yang dilepas ke atmosfer dengan aktivitas yang berkaitan dengan emisi tersebut. Emisi untuk industri secara garis besar dihasilkan oleh sumber-sumber yang berasal dari pemakaian energi berupa bahan bakar dan listrik, dan proses produksi dan limbah. Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dengan tingkat emisi C02 spesifik dipatok maksimum 300 kg C02/ton dengan metode verifikasi pemeriksaan hasil perhitungan tingkat emisi C02 yang dibuktikan dengan data penggunaan energi pada proses produksi pada periode 12 (dua belas) bulan terakhir dan faktor emisi yang digunakan sebagai sumber energi.
Hal-hal yg perlu dipersiapkan untuk mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan
Kiki Setiawan & Partners Law Office provides legal consultancy related to Corporate & Commercial legal matters, please call us at +62 21 2963 8070 or drop us an email at mail@ksplaw.co.id.
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) adalah Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/atau anggaran dasar. RUPS penting dilaksanakan karena merupakan bentuk pertanggung jawaban dari Dewan Komisaris serta Dewan Direksi untuk melaporkan pelaksanaan tugas dan kinerja kepada para pemegang saham selama satu tahun. Kemudian di dalam RUPS juga memiliki wewenang untuk melakukan perubahan anggaran dasar perusahaan, melakukan perubahan structural seperti jika ada penggabungan, pemisahan atau likudasi. Sehingga RUPS menjadi ruang yang tepat untuk berdiskusi karena semua Keputusan terkait anggaran dasar memerlukan persetujuan mayoritas pemegang saham.
Berdasarkan Pasal 78 UU PT RUPS dibagi menjadi dua yaitu RUPS Tahunan dan RUPS Lainnya. Perusahaan memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan RUPS tahunan yang dilaksanakan paling lambat 6 bulan setelah tahun buku berakhir.
Hal-hal yang perlu Hal-hal yg perlu dipersiapkan untuk mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan adalah: A. Persiapan Formal 1. Permintaan penyelenggaraan RUPS Dewan komisaris maupun 1 orang atau lebih pemegang saham yang mewakili 1/10 atau lebih dari jumlah seluruh saham dengan hak suara kecuali anggaran dasar menentukan suatu jumlah yang lebih kecil meminta penyelenggaraan RUPS ke Direksi. Permintaan diajukan oleh pemegang saham dengan surat tercatat yang berisi alasan permintaan penyelenggaran RUPS (Pasal 79 UUPT). 2. Pemberitahuan mata acara rapat dan surat tercatat dari pemegang saham Direksi wajib menyampaikan pemberitahuan mata acara rapat dan surat tercatat dari pemegang saham atau Dewan Komisaris kepada OJK paling lambat 5 hari kerja sebelum pengumuman RUPS. Pemegang saham dapat mengusulkan mata acara rapat secara tertulis kepada penyelenggara RUPS paling lambat 7 hari sebelum pemanggilan RUPS. 3. Pemanggilan RUPS Direksi melakukan pemanggilan RUPS ke pemegang saham maksimal 15 hari sejak tanggal permintaan penyelenggaraan RUPS. Jika Direksi tidak melakukan pemanggilan RUPS maka permintaan penyelenggaraan RUPS diajukan kembali kepada Dewan Komisaris atau Dewan Komisaris dapat melakukan pemanggilan sendiri RUPS maksimal 15 hari sejak tanggal permintaan penyelenggaraan RUPS (Pasal 79 UUPT). 4. Pemanggilan pemegang saham Direksi melakukan pemanggilan ke pemegang saham sebelum menyelenggarakan RUPS maksimal 14 hari sebelum tanggal RUPS diadakan dengan tidak memperhitungkan tanggal pemanggilan dan tanggal RUPS. Pemanggilan RUPS ini dilakukan dengan Surat Tercatat atau dengan iklan dalam Surat Kabar (Pasal 82 UUPT). Pada Perusahaan wajib melakukan pemanggilan kepada pemegang saham paling lambat 21 hari sebelum tanggal penyelenggaraan RUPS dengan tidak memperhitungkan tanggal pemanggilan dan penyelenggaraan RUPS (Pasal 17 POJK 15/2020). 5. Penyediaan tempat pengadaan RUPS (Jika RUPS dilakukan secara fisik) RUPS diadakan di tempat kedudukan Perseroan atau di tempat Perseroan melakukan kegiatan usahanya yang utama sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar dan harus terletak di wilayah Republik Indonesia. Namun jika semua pemegang saham hadir maupun diwakili dalam RUPS dan setuju untuk mengadakan RUPS dengan agenda tertentu, RUPS dapat diadakan di manapun (Pasal 76 UUPT). 6. Penyediaan media elektronik (Jika RUPS dilakukan melalui telekonferensi) RUPS dapat dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat (Pasal 77 UUPT).
B. Persiapan Materil 1. Persiapan Laporan Tahunan Perusahaan Berdasarkan Pasal 66 UUPT, Direksi wajib menyampaikan laporan tahunan kepada RUPS setelah ditelaah oleh Dewan Komisaris maksimal 6 bulan setelah buku Perseroan berakhir. Hal yang perlu ada di dalam laporan tahunan tersebut adalah : a. Laporan keuangan yang terdiri atas neraca akhir tahun baku yang baru lampau dalam perbandingan dengan tahun buku sebelumnya, laporan laba rugi dari tahun buku yang bersangkutan, laporan arus kas, dan laporan perubahan ekuitas, serta catatan atas laporan keuangan tersebut. Laporan keuangan disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan. Neraca dan laporan laba rugi dari tahun buku yang bersangkutan wajib diaudit dan harus disampaikan kepada Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. b. Laporan mengenai kegiatan Perseroan. c. Laporan pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. d. Rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang mempengaruhi kegiatan usaha Perseroan. e. Laporan mengenai tugas pengawasan yang telah dilaksanakan oleh Dewan Komisaris selama tahun buku yang baru lampau f. Nama anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris g. Gaji dan tunjangan bagi anggota Direksi dan gaji atau honorarium dan tunjangan bagi anggota Dewan Komisaris Perseroan untuk tahun yang baru lampau.
2. Mata Acara RUPS Berdasarkan Pasal 10 POJK 15/2020, Mata acara RUPS yang disampaikan oleh Direksi wajib memuat informasi berupa : a. Nama dan jumlah kepemilikan pemegang saham pada Perusahaan Terbuka, jika Direksi atau Komisaris melakukan RUPS atas permintaan pemegang saham. b. Nama dan jumlah kepemilikan pemegang saham pada Perusahaan Terbuka dan penetapan ketua pengadilan negeri menegenai pemberian izin penyelenggaraan RUPS, jika RUPS dilaksanakan berdasar penetapan ketuan pengadilan negeri. c. Penjelasan bahwa Direksi tidak melaksanakan RUPS atas permintaan Dewan Komisaris, jika Dewan Komisaris melakukan sendiri RUPS yang diusulkannya.
Ketentuan Penanyangan dan Pemutusan Akses Iklan Elektronik Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE)
Kiki Setiawan & Partners Law Office provides legal consultancy related to Corporate & Commercial legal matters, please call us at +62 21 2963 8070 or drop us an email at mail@ksplaw.co.id.
Dalam mendukung kegiatan usaha mikro, usaha kecil dan usaha menengah serta para pelaku perdangangan, pemerintah telah membuat Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2023 tentang PMSE (Perdangangan Melalui Sistem Elektronik) menyesuaikan dengan perkembangan teknologi saat ini yang sudah sangat dinamis dan jauh lebih mudah diakses oleh para pelaku usaha. Adapun cakupannya meliputi Perizinan berusaha, periklanan, pembinaan, dan pengawasan pelaku usaha.
Perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) adalah Perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik. Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan informasi elektronik.
Penayangan Iklan Elektronik Pelaku usaha dapat membuat penayangan iklan elektronik untuk kepentingan promosi. Penayangan iklan elektronik ini dapat dilakukan di dalam jaringan secara langsung atau terhubung melalui jaringan sarana komunikasi elektronik, baik saluran telekomunikasi, penyiaran atau internet. Jika iklan elektronik ditayangkan melalui Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) maka harus mematuhi ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang penyiaran, perlindungan atas privasi dan data pribadi, perlindungan Konsumen, dan tidak bertentangan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat.
Ketentuan penayangan iklan khususnya dalam perdagangan melalui sistem elektronik yang harus dipenuhi sebagaimana diatur dalam Pasal 28 Permendag 31/2023 adalah: 1. Penayangan iklan tidak mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, keguanaan dan harga barang dan tarif jasa, serta ketepatan waktu penerimaan barang maupun jasa. 2. Penayangan iklan tidak mengelabui jaminan atau garansi terhadap barang maupun jasa. 3. Penanyangan iklan tidak memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang maupun jasa. 4. Harus memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang atau jasa 5. Tidak mengeksploitasi kejadian atau seseorang tanpa izin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan 6. Menyediakan fungsi keluar dari tayangan iklan elektronik yang ditunjukkan dengan tanda close, skip atau tutup dan ditempatkan pada tempat yang jelas sehingga memudahkan konsumen dalam menutup iklan elektronik yang dimaksud.
Pelaku usaha harus memastikan kebenaran informasi identitas dari yang bersangkutan pada penayangan iklan yang menampilkan hasil ulasan dan testimoni dari konsumen yang pernah menggunakan barang atau jasa sebagaimana diatur dalam Pasal 28 Permendag 31/2023.
Pemutusan Akses Iklan Elektronik Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) tidak boleh menayangkan iklan elektronik yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pada sarana elektroniknya. Jika iklan elektronik yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan terlanjur ditayangkan maka PPMSE harus melakukan Pemutusan Akses terhadap materi Iklan Elektronik tersebut Berdasarkan Pasal 30 Permendag 31/2023, Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga memiliki kewenangan untuk memerintahkan atau melakukan Pemutusan Akses terhadap: 1. Materi Iklan Elektronik yang ditayangkan oleh PPMSE yang bertentangan dengan ketentuan Peraturan perundang-undangan 2. Akun Pelaku Usaha yang menayangkan Iklan Elektronik yang bertentangan dengan ketentuan Peraturan perundang-undangan
Ketentuan Kepemilikan Modal Asing pada Perusahaan Efek
Kiki Setiawan & Partners Law Office provides legal consultancy related to Corporate & Commercial legal matters, please call us at +62 21 2963 8070 or drop us an email at mail@ksplaw.co.id.
Dalam rangka memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan di bidang Pasar Modal serta perlunya pengaturan mengenai kepemilikan modal asing pada Perusahaan Efek, Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2022 (PP 31/2022) tentang Kepemilikan Modal Asing pada Perusahaan Efek. Penanaman modal asing merupakan kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri. Kegiatan penanaman modal asing ini dilakukan oleh pemodal asing, yakni pemodal orang perseorangan warga negara asing atau pemodal berbentuk badan hukum asing sebagaimana diatur dalam Pasal 1 PP 31/2022. Sedangkan perusahaan efek adalah pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagai penjamin emisi efek, perantara efek, dan/atau manajer investasi.
Berdasarkan PP 31/2022, Perusahaan Efek dibagi menjadi 2 bentuk yaitu perusahaan efek nasional dan perusahaan efek patungan. Perbedaan keduanya ada pada kepemilikan saham perusahaannya, di mana saham pada perusahaan efek nasional seluruhnya dimiliki oleh orang perseorangan warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia. Sedangkan saham pada perusahaan efek patungan dimiliki oleh orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia bersama dengan badan hukum asing yang bergerak di bidang keuangan.
Jumlah kepemilikan saham oleh badan hukum asing pada perusahaan efek patungan sebagaimana sebagaimana diatur dalam Pasal 3 PP 31/2022 adalah: 1. Apabila badan hukum asing bergerak di bidang keuangan selain sekuritas, maka kepemilikan sahamnya paling banyak sebesar 85% (delapan puluh lima persen) dari modal disetor. 2. Apabila badan hukum asing bergerak di bidang sekuritas yang telah memperoleh izin atau di bawah pengawasan regulator pasar modal di negara asalnya, maka kepemilikan sahamnya paling banyak sebesar 90% (sembilan puluh persen) dari modal disetor.
Apabila perusahaan efek nasional atau perusahaan efek patungan melakukan Penawaran umum, maka saham di perusahaannya dapat dimiliki seluruhnya oleh pemodal dalam negeri atau pemodal asing, tanpa perlu mengaitkannya dengan bidang sektor usaha pemodal maupun maksimal jumlah kepemilikan saham di perusahaan tersebut. Dengan demikian, maka pemodal asing pada perusahaan efek nasional maupun perusahaan efek patungan yang melakukan penawaran umum tidak harus merupakan pemodal asing yang bergerak di bidang keuangan saja.
Ketetapan Standar Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Perkantoran
Kiki Setiawan & Partners Law Office provides legal consultancy related to Corporate & Commercial legal matters, please call us at +62 21 2963 8070 or drop us an email at mail@ksplaw.co.id.
Gedung perkantoran sebagai salah satu tempat kerja tentunya tidak terlepas dari berbagai potensi bahaya lingkungan kerja yang dapat mempengaruhi keselamatan serta kesehatan para karyawan didalamnya. Dalam rangka mendukung terwujudnya upaya keselamatan dan kesehatan kerja di gedung perkantoran, maka diperlukan standar penyelenggaraan keselamatan, kesehatan kerja, lingkungan kerja, sanitasi dan ergonomi perkantoran. Oleh karena itu, Pemerintah menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 48 Tahun 2016 tentang Standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja Perkantoran.
Berikut ketetapan standar keselamatan dan kesehatan kerja perkantoran:
1. Standar K3 Perkantoran Standar K3 sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Permenkes 48/16 adalah: a. Keselamatan kerja; b. Kesehatan kerja; c. Kesehatan lingkungan kerja perkantoran; dan d. Ergonomi Perkantoran
Dengan menerapkan Standar K3 di Perkantoran diharapkan dapat mencegah dan mengurangi penyakit akibat kerja dan penyakit lain, serta kecelakaan kerja pada karyawan, dan menciptakan perkantoran yang aman, nyaman dan efisien untuk mendorong produktifitas kerja.
2. Standar Keselamatan Kerja Standar keselamatan kerja sebagaimana diatur dalam pasal 12 Permenkes 48/16 adalah: a. Persyaratan keselamatan kerja Perkantoran Persyaratan keselamatan kerja perkantoran terdiri atas pelaksanaan pemeliharaan dan perawatan ruang perkantoran, desain alat dan tempat kerja, penempatan dan penggunaan alat perkantoran serta pengelolaan listrik dan sumber api. b. Kewaspadaan bencana perkantoran. Kewaspadaan bencana perkantoran meliputi manajemen tanggap darurat gedung, manajemen keselamatan dan kebakaran gedung, peryaratan dan tata cara evakuasi, penggunaan mekanik dan elektrik dan Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K).
3. Standar Kesehatan Kerja Standar kesehatan kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Permenkes 48/16 adalah: a. Peningkatan Kesehatan Kerja di Perkantoran Peningkatan kesehatan kerja di perkantoran terdiri atas peningkatan pengetahuan kesehatan kerja, pembudayaan perilaku hidup bersih dan sehat di tempat kerja, penyediaan ruang ASI dan pemberian kesempatan memerah ASI selama waktu kerja di Perkantoran serta aktivitas fisik. b. Pencegahan penyakit di Perkantoran Pencegahan penyakit di perkantoran meliputi pengendalian faktor risiko dan penemuan dini kasus penyakit dan penilaian status Kesehatan. c. Penanganan penyakit di Perkantoran Penanganan penyakit di perkantoran ditujukan untuk mengobati secara dini penyakit dan mencegah keparahan dari penyakit menular dan penyakit tidak menular, gangguan kesehatan, penyakit akibat kerja, penyakit terkait kerja, dan cidera akibat kerja. d. Pemulihan kesehatan bagi karyawan di Perkantoran Pemulihan kesehatan bagi karyawan di perkantoran terdiri atas melaksanakan program kembali bekerja bagi karyawan yang telah mengalami sakit parah atau kecelakaan kerja dengan kondisi tidak dapat mengerjakan tugas semula dan pengkondisian karyawan untuk dapat bekerja kembali sesuai dengan kemampuannya.
4. Standar Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran Standar kesehatan lingkungan kerja Perkantoran sebagaimana diatur dalam Pasal 20 Permenkes 48/16 adalah: a. Standar dan persyaratan kesehatan lingkungan Perkantoran Standar dan persyaratan kesehatan lingkungan Perkantoran meliputi sarana bangunan, penyediaan air, toilet, pengelolaan limbah, cuci tangan pakai sabun, pengamanan pangan serta pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit. b. Standar lingkungan kerja Perkantoran. Standar lingkungan kerja Perkantoran meliputi aspek fisika, kimia dan biologi.
5. Standar Ergonomi Perkantoran Standar Ergonomi Perkantoran meliputi: a. Luas tempat kerja b. Tata letak peralatan kantor c. Kursi d. Meja kerja e. Postur kerja f. Koridor g. Durasi kerja h. Penanganan beban manual (manual handling).
Pencegahan dan Penanggulangan Keadaan Darurat Bahan Kimia Dalam Kegiatan Usaha Industri Kimia
Kiki Setiawan & Partners Law Office provides legal consultancy related to Corporate & Commercial legal matters, please call us at +62 21 2963 8070 or drop us an email at mail@ksplaw.co.id.
Industri kimia merujuk pada suatu industri yang terlibat dalam produksi zat kimia. Industri ini mencakup petrokimia, agrokimia, farmasi, polimer, cat, dan oleokimia. Kegiatan usaha industri kimia banyak tersebar di wilayah Indonesia dan merupakan industri yang rentan menimbulkan keadaan darurat bahan kimia yang berbahaya terhadap keamanan dan keselamatan, sehingga diperlukan upaya pencegahan dan penanggulangan. Oleh karena itu, Pemerintah melalui Menteri Perindustrian menetapkan peraturan tentang Pencegahan dan Penanggulangan Keadaan Darurat Bahan Kimia dalam Kegiatan Usaha Industri Kimia yang diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2019.
Berikut aturan mengenai pencegahan dan penanggulangan keadaan darurat bahan kimia dalam kegiatan usaha industri kimia:
1. Persyaratan Pencegahan dan Penanggulangan Keadaan Darurat Bahan Kimia Berdasarkan Pasal 4 Permenperin 19/2019, Perusahaan Industri wajib memenuhi persyaratan Pencegahan dan Penanggulangan Keadaan Darurat Bahan Kimia yang meliputi: a. Penilaian Risiko. b. Prosedur. Prosedur yang dimaksud meliputi personal, sistem komunikasi, pedoman teknis operasi, peralatan dan perlengkapan dan Latihan.
2. Penilaian dan Verifikasi Pencegahan dan Penanggulangan Keadaan Darurat Bahan Kimia Penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Permenperin 19/2019 dilakukan terhadap: a. Perizinan Perusahaan, meliputi Nomor Izin Berusaha dan Izin Usaha Industri b. Penilaian Risiko yang disusun berdasarkan alur proses produksi dan daftar Bahan Kimia dan pengelolaan Bahan Kimia. c. Prosedur yang meliputi Prosedur Standar Operasi dan/atau Instruksi Kerja Pencegahan dan Penanggulangan Keadaan Darurat Bahan Kimia, daftar Personil, daftar Peralatan dan Perlengkapan, alur proses sistem komunikasi, dan nota kesepahaman/dokumen perjanjian kerja sama perencanaan Pencegahan dan Penanggulangan Keadaan Darurat Bahan Kimia tingkat 2.
Penilaian dapat dilakukan dengan cara penilaian sendiri (self assessment) oleh Perusahaan Industri, namun apabila ada Perusahaan Industri yang tidak dapat melakukan penilaian sendiri maka Penilaian dapat dilakukan oleh lembaga yang mampu melakukan Penilaian. Selanjutnya, dokumen Pencegahan dan Penanggulangan Keadaan Darurat Bahan Kimia wajib dilakukan Verifikasi sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Permenperin 19/2019.
3. Pelaporan Pencegahan dan Penanggulangan Keadaan Darurat Bahan Kimia Berdasarkan Pasal 22 Permenperin 19/2019, Perusahaan Industri wajib menyampaikan laporan upaya Pencegahan dan Penanggulangan Keadaan Darurat Bahan Kimia kepada Direktur Jenderal setiap 1 (satu) tahun sekali atau sewaktu-waktu apabila diperlukan. Laporan tersebut paling sedikit memuat: a. Kejadian Keadaan Darurat Bahan Kimia yang terjadi dan penangananya. b. Pelaksanaan latihan. c. Kondisi peralatan dan perlengkapan.
4. Sanksi Pencegahan dan Penanggulangan Keadaan Darurat Bahan Kimia Perusahaan Industri yang melanggar ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dikena sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 24 Permenperin 19/2019 berupa: a. Peringatan tertulis. b. Penghentian kegiatan sementara. c. Pencabutan izin usaha Industri atau izin usaha lain yang sejenis. d. Penghentian fasilitas pelayanan dari pemerintah.